Lead
Sebagai
istri yang telah ditinggal mati oleh Sang Suami, Aminah merasa letih sendirian
mengayuh biduk rumah tangga. Kendati demikian, ia tetap menjalankan perannya sebagai
‘tonggak” dalam rumah tangganya, dengan melakukan apa saja yang bisa menambah
keuangan keluarga, seperti jadi tukang tambal ban dalam dan juru parkir. Sebuah
wujud cinta yang pantas diteladani para wanita lainnya !
Saat sebahagian besar para
istri hanya mengandalkan sang suami untuk mencari nafkah dalam memenuhi
kebutuhan rumah tangga, Aminah (56 tahun) justeru dengan rela berjuangan demi
keluarganya.
Pendakian hidup yang begitu tinggi, ternyata
membuat Aminah tumbuh menjadi seorang ibu teladan, yang tak pernah sungkan
mengerjakan apa saja, demi untuk memenuhi kebutuhan ketujuh orang sang buah
hati.
Apa yang dilakukan Aminah itu, katanya, Senin (16/3/2020),
semata-mata hanya terdororong rasa tanggung jaab terhadap Sang Buah Hati, sehingga
dia rela terus-menerus memeras keringat untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Mendengar jawaban yang mengalir dari wanita kelahiran
Duku Kasang, Kabupaten Padangpariaman ini, perasaan
wartawan Maestro Info hanyut hingga ke luar batas dinding. Kemudian, mengendap dan menyatu
dalam kata-kata yang bisu. Sebuah pengabdian
tulus dari seorang istri yang telah ditinggal mati suami sekaligus ibu bagi
anak-anaknya !
Secuil pengertian, kemudian mempertalikan jiwa dan menyalakan kasih
bak antara ibu dan anak. Perbincangan pun mengalir antara wartawan media ini dengan wanita tegar yang tak
pernah mau hidup hanya “mengandalkan
kepasrahan”.
Ketika Aminah disapa, ia pun tersenyum. Sebuah senyuman tulus yang mengalir dari
jiwa yang wangi ! Perbincangan santai perlahan pun dimulai. Walau saat itu
wartawan Maestro Info duduk di emperan sebuah toko di,
Jalan Niaga (depan Bank Mestika), Kelurahan Pondok, Kecamatan Padang Barat,
Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar), namun jiwanya
serasa berjalan menyusuri hidup Aminah
puluhan tahun yang silam.
Kata Aminah memulai kenangannya, puluhan tahun ia telah menamani sang suami, baik dalam suka mau pun
duka. Semenjak tahun 1979, di Jalan Niaga itu, kata Aminah, ia bersama Afrizal
suaminya yang berprofesi sebagai mekanik, membuka jasa servis di pinggir jalan.
Bersamaan dengan itu, mereka juga membuka jasa tambal ban di lokasi tersebut.
Namun, pasca gempa tektonik 7,6 Skala Richter yang
mengguncang Sumbar tahun 2009 lalu, turut pula memporak-porandakan mata
pencarian suami Aminah sebagai mekanik.
“Pasca gempa itu, usaha jasa mekanik yang dilakoni
suami saya pun tak bisa diandalkan lagi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,”
kata Aminah.
Karena seolah menyongsong
’nyala fajar’ yang tak nampak, lantaran usaha mekanik tak
lagi mampu menopang kebutuhan keluarga—apalagi tiap bulan harus membayar sewa
rumah dan listrik sekitar Rp850 ribu—Aminah pun merasa bagai
tersedu di depan pintu dalam mengais bahagia. Untuk itu, ia bulatkan tekad berperan sebagai ‘tiang kedua’ dalam rumah
tangganya.
“Kasihan suami saya bila ia harus sendirian
berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagai istri, saya merasa punya
kewajiban untuk membantu meringankan beban suami,” ungkap Aminah.
Aminah tentu tak mau meratapi takdir yang
menyinggahinya itu. Untuk merubah nasibnya, sebungkah
keyakinan ia tanamkan dalam jiwanya, terutama untuk membantu meringankan beban sang suami, dan tentunya demi
ketujuh orang anak-anaknya ; Rudy Chandra, Dony Efendi, Rizal Efendi, Mery
Fermadona, Mercy Fermadona, Yuni Fermadona dan Rino Chandra.
Akhirnya, nasib pun mengantarkan Aminah untuk mengambil kerja sampingan sebagai juru
parkir Jalan Niaga (depan Bank Mestika), Kelurahan Pondok, Kecamatan Padang
Barat, Kota Padang.
Hingga akhirnya cerita duka pada tahun 2017
menyinggahinya, suami tercint pergi meninggalkannya, pergi bukan untuk semata
saja, tapi untuk selamanya. Semenjak “kepergian” suaminya, Aminah harus
mendayung “biduk” sendirian, di tengah garangnya lautan yang tak pernah kenal
taar menawar. (Febriansyah Fahlevi)