Lelaki Tua Tabah Menyusuri Malam

No Comments

Lantaran sinar kejayaanya telah memburam dan terperangkap pada "pondasi langit" yang miring, seorang lelaki tua terlihat masih menyisiri jalan meski malam telah larut. Ia rela berjalan puluhan kilo meter mencari barang bekas, yang akan dijual demi bertahan hidup bersama anak dan isterinya.



Meski pada hari Sabtu 30 Mei 2009 lalu, senja telah menghilang dan berganti dengan malam, namun pada jam 22.18 wib itu seorang lelaki tua-Bakar Sidik (68 tahun), masih menyeret langkahnya mendorong becak yang sarat dengan barang bekas, di Jalan Andalas-Kecamatan Padang Timur-Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat.

Duh… kasihan ia, diusianya yang sudah tua itu pendakian hidup yang dilaluinya terlalu “tajam” dan “tinggi”. Sebab, Bakar Sidik harus mengantungkan hidup dari keringat yang menetes dari tubuhnya yang mulai keriput dan rambut yang sudah sepenuhnya memutih di kepalanya. Sehingga, ia tak lagi merasa kelelahan, meski sudah harus berjalan tertatih-tatih mendorong becaknya yang sarat dengan beban.

Ketika menatap wajah lelaki tua asal Kuraitaji Pagulugu Pariaman ini, perasaan Wartawan Publik hanyut hingga ke luar batas dinding. Kemudian, mengendap dan menyatu dalam kata-kata yang bisu.

Beberapa saat kemudian, secuil pengertian kemudian mempertalikan jiwa dan menyalakan kasih antara Bakar Sidik dan wartawan Publik bagai ayah dan anak. Perbincangan pun mengalir begitu saja.

Kata Bakar Sidik memulai kenangannya, pekerjaan yang dilakoninya itu baru sekitar 4 tahun digelutinya. Sebelumnya ia berprofesi sebagai pedagang kelapa di Pasarraya Padang.

Namun, selama melakoni pekerjaan sebagai pedagang kelapa, Bakar Sidik seolah menyonsong nyala fajar yang tak nampak. Artinya, usaha ayah dari enam orang anak ini, tak memberikan pencerahan bagi perekonomian keluarganya. Jangankan beruntung, usaha yang dilakukan itu malah sering merugi. Akhirnya, Bakar Sidik memutuskan berhenti dari profesi sebagai pedagang kelapa.

Selama tak ada pekerjaan, Bakar Sidik bagai tersedu di depan pintu dalam mengais bahagia. Sebab, perjalanan ekonomi keluarganya pun turut morat marit. Sementara, waktu terus berjalan dan ia harus memenuhi kebutuhan keluarga, serta uang Rp3 juta pembayar kontrakan rumahnya di Komplek Mawar Putih-Kelurahan Korong Gadang-Kecamatan Kuranji.

Tak jarang pula Bakar Sidik melewati waktu dengan nyanyian duka lara. Bahkan ketika malam tiba, matanya memang terpejam, namun fikirannya berpelesiran tanpa akhir. Sebab, ia selalu memikirkan jalan bagaimana bisa mengumpulkan uang untuk menghidupi keluarganya.

Ditengah kondisi demikian, kata Bakar Sidik, ia pun membulatkan tekad untuk mengadu peruntungan sebagai pencari barang bekas. Hal itu ia lakukan lantaran pekerjaan tersebut tak membutuhkan uang sebagai modal. Yang dibutuhkan hanya kemauan dan semangat juang.

Untuk merobah nasib keluarga dan membayar uang kontrakkan rumah, serta membeli obat-obatan untuk anaknya yang paling kecil-Indra Keruzaman (37 tahun) yang menderita penyakit sedari kecil, sebungkah keyakinan ditanamkan oleh Bakar Sidik dalam jiwanya.

Meski saat itu Bakar Sidik tak obahnya bagaikan pohon yang kehilangan satu dahannya yang kuat, namun ia masih tetap punya semangat dan tekad. Bahkan ia berupaya mengarahkan seluruh dayanya untuk tetap bertahan dengan dahan-dahan yang lemah.

Dengan mendayung sepeda tua, Bakar Sidik pun mulai menjalankan profesi yang baru, yaitu sebagai pencari barang bekas. Begitu mentari mulai “mengucapkan salam”, ia pun mulai ke luar rumah untuk mencari barang bekas yang bertebaran di sepanjang jalan.

Begitu bersemangatnya ia, tak jarang Bakar Sidik pulang sudah larut malam. Walau sudah demikian, bahkan tak jarang pula ia hanya mendapatkan barang bekas yang jumlahnya tak seberapa banyak. Namun, pekerjaan itu tetap dilakoninya dengan tabah.

Walau harus berjuang keras dalam mengukir nasib mengurai duka, sepanjang melakoni profesi sebagai pencari barang bekas itu, tak jarang pula Bakar Sidik bersua dengan derita. Lantaran usianya sudah begitu lanjut, maka ia sering terjatuh dari sepeda yang dikayuh.

Karena sering mendapati Bakar Sidik terjatuh dari sepedanya, seorang dermawan-H Zainal One pun merasa iba. Ia akhirnya memberikan sebuah becak pada Bakar Sidik.

Begitu mendapat becak tersebut, hati Bakar Sidik begitu riang. Bahkan, ia seolah diantarkan dalam sebuah ruang yang memberikannya ketenangan. Betapa tidak, dengan becak itu Bakar Sidik akan bisa membawa barang bekas lebih banyak lagi, dan terhindar dari kemungkinan terjatuh.

Perlahan namun pasti, dengan becak itu perobahan dalam diri Bakar Sidik pun mulai terjadi. Ia tak lagi bagai tongkang di tengah lautan yang sunsang dalam menampung malang. Angin segar kehidupan pun mulai dirasakan berhembus.

Dengan becak barunya itu, tanpa kenal lelah, Bakar Sidik terlihat gesit menyisir setiap pelosok jalan, mulai dari sepanjang jalan By Pass hingga ke kawasan Pondok, dengan satu harapan bisa memperoleh barang-barang bekas yang dibutuhkan, seperti ; botol dan gelas air mineral, besi, karton, karah, koran, kaleng bekas minuman dan barang bekas lainnya.

Meski terkadang tak menemukan barang sesuai dengan harapan, namun tak ada keluhan dan desahan kekecewaan yang meluncur dari mulut Bakar Sidik. Karena, ia begitu menyadari bahwa “kantong rezki”, sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah Al Maalikal Mulk.

Walau bagi sebagian orang apa yang dicari Bakar Sidik ini hanyalah sebatas sampah belaka, namun baginya “sampah” itu adalah penopang hidup ia bersama keluarganya dalam menyusuri fajar hari ini dan mendatang. Tak mengherankan bila ia harus “merangkak” di sepanjang jalan dan menaruh harapan dari barang bekas yang dipungut untuk kelangsungan hidup keluarganya.

Demi memperoleh barang-barang bekas itu, hampir setiap hari Bakar Sidik harus pulang larut malam. Ketika kakinya yang beralas sandal itu menginjak pelataran rumah kontrakkannya di Komplek Mawar Putih-Kelurahan Korong Gadang-Kecamatan Kuranji, rata-rata jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.30 wib.

Begitu Bakar Sidik sampai di rumah, istrinya yang juga sudah beranjak tua-Arlida (61 tahun), dengan setia akan membukakan pintu untuknya. Sementara para tetangga mereka, rata-tara sudah terlelap di pembaringannya.

Kata Bakar Sidik, “sampah-sampah” yang dipungutnya hari itu tak langsung dijual. Sebab, ia harus mengumpulkan sekitar 3 hari, agar bisa dijual dalam jumlah yang agak banyak.

Untuk botol dan gelas air mineral, karah, plastik dan besi, kata Bakar Sidik, dijualnya ke Pasar Gadang-Kecamatan Padang Selatan. Sementara, untuk karton dan kaleng bekas minuman (alma), dijualnya ke Bandar Olo.

“Untuk botol mineral saya jual dengan harga Rp1.000 per kilogram, gelas air mineral Rp5.000, besi Rp2.500, karton Rp500, koran Rp600 sampai Rp1.200, karah Rp2.500 dan alma Rp9.000 per kilogram,” ujar Bakar Sidik.

Bakar Sidik mengaku, rata-rata dari hasil penjualan barang bekas itu ia bisa memperoleh uang Rp150.000 per tiga hari. Dengan uang itulah ia menghidupi keluarga serta membayar kontrakan rumahnya.

Meski harus mengantungkan hidup dari keringat yang menetes dari tubuhnya yang mulai renta, namun Bakar Sidik rasanya pantas dijadikan teladan. Karena, ia begitu memahami bahwa hidup bukanlah igauan semata, namun harus diperjuangkan. F. Fahlevi