Sukirman (47 tahun) adalah seorang tukang jahit yang kini hidup tak obahnya bak mumbang alit ditangkai mayang, basah kuyup direnyai waktu. Sebab, dengan banyaknya pakaian jadi (pakaian langsung pakai dengan bermacam merek dan ukuran) yang dijual murah di toko-toko pakaian, ia tak lagi bisa mengantungkan hidup dari profesinya itu.
Padahal, kata pria kelahiran Pagulugu Kuraitaji-Pariaman ini mengenang masa kejayaannya, dulu ia bisa mendapat order jahitan 10 sampai 15 lembar sehari. Namun beberapa tahun belakangan--terutama semenjak pakaian jadi banyak dijual dengan harga murah--ia nyaris tak dapat order jahitan. Bahkan, untuk memperoleh 2 order jahitan saja sudah teramat susah.
Bersama pergeseran waktu, ternyata pria yang memulai pekerjaan sebagai tukang jahit di Jakarta pada tahun 1979 ini, dituntut untuk bisa berpacu dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Disamping itu, ia masih saja bertekad mempertahankan profesinya sebagai tukang jahit di tengah maraknya perkembangan pakaian jadi.
Ayah dari 3 orang putra dan putri ini, bukannya tak tahu bahwa perjalanan waktu turut merobah pola pikir manusia. Ia juga bukan tak tahu bahwa kecanggihan teknologi telah merambah berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ia juga sangat menyadari, bahwa saat ini manusia telah terbiasa dengan kehidupan yang serba ringkas dan cepat. Makanya, tak salah bila tukang jahit tak lagi jadi pilihan untuk membuat pakaian baru.
Tak mau hidup bagai tongkang yang terkatung-katung di lautan, sekitar tahun 2002 Sukirman pun bertekad meninggalkan Jakarta, kali ini Kota Medan yang ingin ia tuju.
Untuk meraih gemintang dengan gemilang di rantau orang, Sukirman pun rela meninggalkan istrinya-Darusah (27 tahun) di Jakarta. Padahal, saat itu usia pernikahannya belum genap berjalan 1 tahun.
Di Kota Medan, Sukirman pun banting setir. Meski masih mempertahankan profesi sebagai tukang jahit, namun kali ini ia lebih memilih menjadi tukang jahit keliling, dengan menggunakan becak. Ada yang baru dari profesi Sukirman kali ini ! Di Kota Medan, ia bukan lagi sebagai tukang jahit pakaian, namun sebagai tukang permak (memperbaiki) pakaian dan tas.
Meski harus bermandikan butiran-butiran kristal yang bernama keringat, Sukirman tak pernah lelah berkeliling ke setiap sudut pemukiman masyarakat. Dengan satu harapan, bisa memperoleh uang halal dari hasil pekerjaan yang digelutinya itu.
Waktu terus bergulir, harapan untuk meraih gemintang dengan gemilang di rantau orang, agaknya tak tergapai tangan. Kondisi itu membuat Sukirman tak bertahan lama di Kota Medan. Sebab, uang dari hasil jerih payahnya, hanya sekedar untuk bisa bertahan hidup di rantau orang. Sementara, uang yang diharapkan bisa dikirimkan pada anak dan istrinya di Jakarta, susah untuk didapatkan.
Kembali keadaan membuat Sukirman membulatkan tekad untuk meninggalkan rantau. Kali ini Kota Padang yang ingin ia tuju. Setelah mempertimbangkan dengan matang, pada tahun 2006 Sukirman pun menginjakkan kaki di Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat, dan mengontrak rumah di Jalan Tan Malaka Jati-Kota Padang.
Perlahan namun pasti, ternyata roda nasib menentukkan Sukirman bisa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit di kampung halamannya. Uang yang diperoleh dari keringat yang mengalir di tubuhnya itu pun dikirimkan pada anak dan istrinya.
Kata Sukirman, dari jasa mempermak pakaian dan tas itu, ia bisa memperoleh uang sekitar Rp50 ribu sampai 100 ribu sehari. “Alhamdulillah, bila saya berhenti di satu tempat, paling sedikit ada sekitar 3 orang yang mengupah barangnya untuk dipermak, seperti celana jeans, jaket, tas dan memperbaiki resleting,” ungkap Sukirman dengan wajah berbinar.
Terkait dengan tarif yang dipatok, kata Sukirman ia tak pernah mematok harga tinggi. Untuk perbaikan resleting dan memendekkan celana, ia hanya memungut upah Rp5.000. Namun, bila bahan celana yang dipotong itu jenis jeans, upahnya adalah Rp8.000. Sementara, untuk mempermak celana atau jaket, kata Sukirman, memang tarifnya sedikit mahal, yaitu Rp15.000.
Sukirman adalah sosok pahlawan bagi keluarganya. Agar bisa menghidupi istri dan ketiga orang anaknya, mereka rela hidup terpisah. Bahkan, sebagai pahlawan keluarga, sepertinya Sukirman telah menyiapkan keletihan akan sebuah perjalanan yang panjang. Ia pun telah menyiapkan duka, sebagai bekal lagu di perjalanan, terutama dalam menghadapi hari-hari yang tak pernah kenal tawar menawar. F. Fahlevi