Mudik Lebaran, Haruskah?

No Comments

Pada 11 September 2010 ini, seluruh umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1431 H. Agar bisa berlebaran di kampung halaman, orang rela antri dan terjebak di perjalanan. Bahkan, mereka rela menghabiskan uang yang mereka kumpulkan dari bekerja keras selama setahun. Apakah lebaran di kampung halaman sebuah keharusan?

Meski Syafrida Yunis (42 tahun) berpenghasilan pas-pasan di Kota Bogor-Provinsi Jawa Barat, namun hampir setiap hari raya Idul Fitri (lebaran), ibu yang memiliki dua orang putra ini, berupaya pulang kampung ke Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat.

Di kampung halaman sendiri, waktu yang dapat dimanfaatkan Syafrida pun tak berapa lama. Bila dihitung-hitung, mungkin Syafrida bersama dua orang anaknya lebih banyak menghabiskan waktu di perjalanan. Terkadang, bila tak dapat tiket bus jurusan Bogor – Padang, ia terpakasa ke Jakarta dulu. Dari Jakarta baru menuju Kota Padang.
Lantaran tingkat arus mudik juga membludak—terutama menjelang H 7—maka tak jarang pula ia terperangkap di pelabuhan penyeberang Merak. Pengalaman itu, hampir tiap tahun dialami Syafrida. Namun anehnya, ia bersama ke dua orang anaknya tak pernah kapok untuk mudik lebaran.

Kenyataan yang sama juga tak jarang dialami Irwandi (40 tahun), tiap kali pulang mudik lebaran. Hampir tiap tahun pria yang berprofesi sebagai pedangang kaki lima di Tanah Abang-Jakarta ini memboyong istrinya-Neneng (40 tahun) dan empat orang anaknya ke kampung halamannya di Batang Kapeh-Kabupaten Pesisir Selatan.

Bahkan kata pria yang akrab disapa Ujang ini, ia malah sengaja bekerja keras untuk mendapatkan uang, agar bisa berlebaran di kampung halaman. Dikatakannya, untuk menghemat pengeluaran, biasanya ia sengaja merental mobil.

“Dengan mobil rental itu, langkah kami menjadi ‘ringan’. Lagi pula, saya dan keluarga bisa sedikit santai,” kata Ujang.

Muhammad Ruslan (55 tahun), seorang pedagang Nasi Ampera di Jakarta, juga punya kebiasan yang sama. Bahkan Urang Sumando Muaro Labuah-Kabupaten Solok Selatan ini, tanpa sadar uang dikumpulkan selama setahun, bakal habis untuk lebaran yang hanya berlangsung beberapa hari saja.

Coba bayangkan, katanya dari tahun ke tahun (setiap lebaran), ongkos angkutan (bus, pesawat dan kapal laut) sangatlah mahal. “Bahkan, untuk memperolehnya, kita harus mendaftar dulu jauh-jauh hari,” ungkap Muhammad Ruslan.

Dikatakan pria yang memiliki 3 orang putra putri ini, karena takut tak kebahagian tiket, ia lebih sering merental mobil sewaan. Lagi pula, dengan mobil sewaan itu akan menambah nilai plus terhadap dirinya saat pulang kampung.

”Bilo pulang jo oto, urang di kampuang akan manyangko awak alah sukses di rantau urang. (Bila pulang dengan mobil, orang di kampung akan mengira kita telah meraih sukses di rantau orang,” ujar pria kelahiran Solok, 12 Juli 1955 ini.

Fenomena rame-rame mudik lebaran ini, mendapat tanggapan dari pengamat sosial Universitas Ekasakti Padang Provinsi Sumatra Barat-Drs Tarma Sartima MSi Kata Tarma, fenomena mudik lebaran ini termasuk kebiasaan yang unik. Sebab, bisa dibayangkan berapa tabungan selama beberapa bulan kerja, akhirnya berpindah format dalam bentuk konsumsi sandang, pangan atau sekedar oleh-oleh bagi keluarga atau kenalan di kampung halaman.

“Melihat kenyataan ini, setidaknya realita menunjukkan bahwa sejarah mengajarkan pada kita bahwa himbauan hampir tak pernah efektif. Kendati begitu, baiknya juga kita mengingat bahwa tradisi pengeluaran berlebihan tersebut bukanlah sebuah kebiasaan yang sehat,” kata Tarma Sartima.

Bila melihat kenyataan mudik lebaran itu, kata Tarma lagi, akan muncul pertanyaan; ‘bukankah lebih baik bila uang yang ada yang telah dikumpulkan sejak lama itu, digunakan untuk aktivitas produktif’.

“Saya rasa, jika harus ‘buang-buang uang tak karuan’, mungkin ada baiknya uang tersebut dikirimkan saja ke kampung halaman untuk sanak saudara dan handai taulan,” ungkap pria jebolan Universitas Gajah Mada ini sambil tersenyum.

Paling tidak uang itu, kata matan Dekan FISIP Universitas Eka Sakti Padang ini, dapat mendorong perekonomian pedesaan. Sebab, dalam realitanya, kebiasan menghabis-habiskan uang itu, sama tak membawa manfaat positif. Ia hanya memberikan justifikasi pada konsumerisme.
Febriansyah Fahlevi

Kemerdekaan, Kebanggaan yang Sirna

No Comments

Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, peringatan HUT-RI ke 65 tahun 2010 ini memang sedikit ‘hambar’ dan jauh dari kesan meriah. Namun pertanyaannya, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan, yang diperingati tiap tahun itu? Sebuah kebanggaan yang mulai bergeser sirna !
Hampir tiap tahun HUT RI tak pernah sepi dari rangkaian kegiatan. Ini sebagai ekpsresi kegembiraan dalam menyambut kemerdekaan yang telah digapai bagsa Indonesia dari kaum penjajah. Berbagai kegiatan pun menghiasi peringatan HUT RI dari tahun ke tahun, mulai dari rangkai acara seni dan olahraga kelas kampung, sampai ke kegiatan yang berskala nasional.

Aktifitas lainnya yang dilakukan masyarakat dalam menyambut HUT RI itu biasanya mengekspresikan diri dengan memasang umbul-umbul dan bendera merah putih. Konon, ini sebagai bentuk dukungan mereka terhadap kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, di berbagai instansi pemerintah dari pusat sampai daerah, juga melaksanakan peringatan 17 Agustus 1945. Biasanya kegiatan diawali dengan renungan suci di makam pahlawan. Berikutnya, mengadakan upacara bendera, mulai menaikan sampai pada penurunannya. Antara dua upacara tersebut, pun melakukan kunjungan ke lembaga permasyarakatan, temu ramah dengan para pejuang dan kegiatan serimoni lainnya.

Biasanya, setiap tahun—mulai dari anak-anak sampai orang dewasa dan orang tua—dengan memanfaatkan dana swadaya, mereka ikut memeriahkan HUT RI itu. Namun dibalik itu, sesungguhnya mereka tak pernah mengerti, bahwa kemerdekaan yang diperingati itu untuk siapa sebenarnya.

Memang dalam alinea pertama dan kedua Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada saat yang berbahagia, dengan selamat sontosa mengantar rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Bersamaan dengan ‘torehan’ alinea pertama dan kedua Pembukaan UUD 1945, kenyataan memiriskan justru terlihat jelas di depan mata. Kemerdekaan yang disebutkan merupakan hak segala bangsa itu, hampir dipastikan tak sesuai dengan realita.

Cobalah ‘teropong’ sesekali, bagaimana rakyat kecil dalam menjalani aktifitasnya dari hari ke hari. Berbagai macam persoalan datang, mulai dari persoalan ekonomi, tingginya biaya pendidikan yang harus mereka bayar untuk masa depan anak-anaknya, sampai ke persoalan ‘klasik’ lainnya.

Bila dilihat sepintas, sepertinya mereka memang terlihat senang melalui hari-harinya di bumi pertiwi ini. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, kayaknya seabrek persoalan harus mereka lalui dan carikan sendiri jalan keluarnya.

Lihatlah nasib apes yang dialami oleh para pedagang kaki lima (PKL). Demi mempertahankan hidup keluargannya—di tengah pendidikan dan keterampilan yang terbatas—mereka rela berpanas-panas menggelar dagangan diemperan.

Muluskah mereka dalam mencari sesuap nasi demi si buah hati? Realita justru mengatakan tidak ! Mereka malah diuber-uber, diburu, berhadapan dengan pentungan, dan bahkan dipereteli oleh sang petugas yang ‘mengatasnamakan’ menjalankan peraturan. Anehnya, mereka pun tidak diberikan solusi untuk mendapatkan penghasilan yang halal.

Padahal, bila mau berjujur-jujur, sebenarnya hampir tak ada dari para PKL itu berhasrat melanggar aturan. Seperti yang diungkapkan Muhammad Yuris (35 tahun), salah seorang PKL di seputaran Air Mancur Pasarraya Padang. Katanya, tujuannya hanya satu, yaitu mencari nafkah dengan cara halal, demi menghidupi istri dan dua orang anaknya.

Kata putra asli Pasaman Barat ini, apa yang dilakukannya itu, lantaran ia tak punya cukup modal untuk mengontrak petak toko untuk berjualan dengan tenang. Karenanya ia pun berupaya mencari nafkah dengan tidak mengeluarkan biaya besar, yaitu berjualan secara berpindah-pindah.

“Karena saya bisa berhutang dalam mengambil asessoris wanita (jepit rambut, bando, gelang, anting, kalung dan lainnya) pada kawan, makanya saya berupaya menjual diemperan. Ternyata berjualan diemperan banyak tak enaknya, selain harus mengeluarkan uang ‘tetek bengek’ untuk orang bagak (jagoan) di Pasarraya, saya juga diliputi rasa was-was, karena harus berhadapan dengan petugas Satpol PP,” katanya.

Apa yang dialami masyarakat itu, dimata pengamat sosial dan politik dari UnivesitasEkasakti Padang-Drs Tarma Sartima MSi, setidaknya mengambarkan bahwa sebenarnya masyarakat belum bisa dapat hidup merdeka.

Kalau kita bicara soal masyarakat dan merdeka, berarti masyarakat yang merdeka adalah masyarakat yang berhasil melepaskan diri dari cengkeraman aturan masyarakat lain, begitu pula dengan negara,” kata alumni Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ini.

Lebih jauh dikatakan Tarma Sartima, bila bicara pula tetang negara yang merdeka, maka yang disebut negara merdeka itu adalah, negara yang mandiri dan tidak dikendalikan oleh aturan negara lain.

Menurut Tarma, walau secara yuridis Indonesia telah merdeka selama 65 tahun, namun kenyataan malah bicara bahwa masyarakat masih belum bisa melepaskan ikatan yang dijeratkan ideologi kapitalisme. Sebab, masyarakat masih doyan bergaya hidup permisive alias bebas nilai. “Makna kebahagiaannya adalah banyaknya materi yang berhasil dikoleksi, bukan lagi ridho Allah,” ungkap Tarma.

Sementara itu, pengamat sosial sekaligus pelaku usaha Ir H Iskandar Zulkarnain MT juga punya pandangan yangsama dengan Tarma Sartima. Katanya, secara fisik memang tidak terlihat serdadu musuh berseliweran di negeri ini, tapi secara hukum, ekonomi, sosial dan politik, negeri ini terkesan malah dikendalikan oleh Negara lain.

“Saya rasa negara kita masih boleh dibilang lemah, apalagi dalam posisi berharap bantuan dari lembaga internasional macam IMF. Bahkan, kita sepertinya masih mempercayakan sistem hukum negara ini kepada ideologi kapitalisme. Dengan begitu, kita masih dijajah. Artinya, sebenarnya kita belum merdeka merdeka amat,” kata Iskandar sembari tersenyum.
Febriansyah Fahlevi

Dilematis Pengemis

No Comments

Belakangan, makin sulit membedakan pengemis antara tuntutan hidup dan profesi. Yang masti, kian hari jumlah mereka makin banyak dan meresahkan. Apa yang mesti dilakukan?
Pakaian lusuh, kumuh dan rona muka awut-awutan. Nada suaranya pun rendah dan nyaris tak terdengar. Yang ada hanya kata-kata ; “kasihanilah lah pak….., kasihanilah bu……”.

Orang-orang seperti ini hampir setiap hari ditemui di perempatan jalan, traffic light (lampu pengatur lalulintas, yang biasa disebut lampu merah), bis, dan berbagai tempat keramaian di kota-kota besar. Mereka biasa disebut dengan pengemis, karena mencari nafkah dengan cara meminta-minta.
Perilaku para pengemis ini pun beragam. Ada yg membawa dan menggendong anak kecil, ada yang masih segar bugar serta ada sengaja memperlihatkan anggota tubuh penuh dengan kudisan, bopeng dan penuh luka. Bahkan, ada pula yang ke-PD-an (percaya diri-red) tak karuan, dengan mengatakan ; “lebih baik mengemis (minta uang) dari pada maling, menjambret dan menodong”, serta banyak lagi perilaku-perilaku lain yang ditunjukkan para pengemis ini.

Namun, belakangan keberadaan para pengemis yang lebih nyaman beroperasi di jalanan (lampu merah) ini makin meresahkan. Sebab, bila permintaannya tidak digubris, tak jarang mereka melontarkan umpatan dengan mata dipelototkan ke pengendara mobi. Bahkan tak pelak pula mereka akan mengambil sikap ‘gila-gilaan’, kaca dan dinding mobil pun diketok dengan uang recehan.

Selain meresahkan, di beberapa kota besar keberadaan mereka diduga terorganisir. Di Kota Padang-Provinsi Sumatra Barat misalnya. Anggota DPRD Kota Padang-Z. Panji Alam SH, menduga kuat bahwa para pengemisnya terorganisir.

Menurut Panji Alam, para pengemis itu diduga kuat dikoordinir seorang tenaga pengarah yang kemudian mengambil jatah persenan dari para pengemis.

“Apa yang saya katakan ini didasari atas pengalaman yang saya temui. Saya pernah melihat dan mendengar langsung seorang pengarah yang mengkoordinir para pengemis di Pasar Grosir ikan kering, tepatnya di belakang Plaza Andalas beberapa waktu lalu,” ungkap Panji Alam meyakinkan.

Dugaan para pengemis di Kota Padang itu terorganisir, kata Panji lagi, itu dapat dilihat dari mobilitas pengemis yang kebanyakan cacat. Bahkan, ada wanita-wanita yang menggendong anak-anak hilir mudik, dengan meminta meminta sedekah. Anehnya, anak yang digendong itu pun berganti-ganti.

Kata Panji Alam, para pengemis itu sering terlihat di beberapa lokasi. Pada pagi hari, dia bisa berada di Simpang Kadang. Siangnya di Simpang Kinol dan sorenya di Jalan Proklamasi dan beberapa tempat lainnya. Ini menandakan ada orang yang mengantar jemputnya dari satu lokasi ke lokasi lain. Orang-orang inilah yang dimaksud sebagai koordinatornya. Mereka pun hampir bisa dipastikan akan mengeruk keuntugan dari para pengemis ini,” ungkap Panji Alam.
F. Fahlevi

RAKYAT MAKIN MENJERIT

No Comments

Ditengah buruknya pelayanan publik oleh pemerintah terhadap rakyat miskin, berbagai kebijakkan pemerintah pun terkadang sering membuat masyarakat miskin makin menjerit. Setelah mewacanakan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau pembatasan penggunaannya, kini pemerintah pun menaikkan tarif dasar listrik.

Wajah Yurni (37 tahun) begitu terlihat lebih tua dari usianya. Beberapa tahun belakangan, guratan kerutan dan kantong mata, makin begitu jelas terlihat dari wajahanya yang dulu lumayan manis. Persoalan perekonomian keluarga “yang sungsang”, menjadi penyebab istri dari M. Joniszar (44 tahun) ini makin terlihat lebih tua dari usianya. Betapa tidak, di tengah kehidupan ekonomi keluarga yang tak menentu, berbagai kebutuhan pokok terus saja merangkak naik.

Bahkan, terhitung sejak awal Juni lalu hingga kini, matanya sulit untuk terpejamkan. Meski kadang matanya itu dapat terpejamkan, namun fikirannya tetap berpelesiran tanpa akhir. Kegalauan Yurni ini dipicu dengan keputusan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) hingga mencapai 18 persen, bagi pelanggan rumah tangga dengan daya 900 VA ke atas. Sebab, pasca pengumuman TDL pada minggu kedua bulan Juni 2010 itu, dikuti pula oleh dengan melonjaknya berbagai bahan kebutuhan pokok.

Kata Yurni, pasca pengumuman kenaikan TDL yang mulai diberlakukan per 1 Juli 2010 itu—entah ada kaitannya atau tidak—tiba tiba harga cabe di Pasarraya Padang-Provinsi Sumatra Barat sampai menembus harga Rp70.000 per kilogramnya.

“Padahal harga cabai merah sebelumnya dijual sejumlah pedagang di Pasaraya Padang berkisar antara Rp20.000 per kilogram. Namun, setelah pengumuman kenaikan TDL itu, harga cabe sampai menembus Rp70.000 per kilo,” kata ibu dari empat anak ini.

Anehnya, sejumlah pedagang cabe yang diwawancarai Publik di Pasarraya Padang beberapa waktu lalu, pun mengaku tidak mengetahui apa penyebab kenaikan harga cabe merah ini. Tapi, kata mereka, kenaikan harga cabai merah keriting itu, disebabkan kelangkaan barang pada tingkat pengecer di pasaran.

Ternyata, di Pasarraya Padang ini, kenaikan harga cabe ini, tak hanya terjadi pada cabe merah keriting saja. Namun, kenaikan harga serupa juga terjadi pada cabe rawit, yang mencapai harga Rp35.000 per kilogramnya.
Padahal, sebelumnya harga cabe rawit ini berkisar Rp25.000 per kilogram.
Ditengah situasi demikian, kata ibu dari Annisa Fatimah, Ummu Khalsum, Muhammad Hidayat dan Muhammad Nurur Rasyid ini, ia pun dibebani oleh biaya pendidikan untuk dua anak gadisnya yang tahun ini menamatkan pendidikan.

Kata Yurni, untuk putri sulungnya Annisa Fatimah (15 tahun), yang tahun ini menamatkan pendidikan SMP, setidaknya ia harus menyiapkan dana sekitar Rp1,5 juta. Jumlah itu belum termasuk untuk membeli seragam dan peralatan sekolah. Sedangkan untuk putri keduannya Ummu Khalsum (12 tahun), yang tahun ini menamatkan pendidikan SD, Yurni juga harus menyediakan uang tak kurang dari Rp1,5 juta.

Yang membuat Yurni makin sulit untuk memejamkan matannya, di tengah kondisi demikian, ia juga harus memikirkan uang kontrakan rumahnya di kawasan Pemancungan-Kecamatan Padang Selatan, yang juga jatuh tempo pada akhir bulan Juli 2010.

Nasib yang dilamami Yurni ini, hampir sama dialami oleh puluhan juta penduduk miskin Indonesia lainnya. Berdasarkan data BPS Maret 2010, di Indonesia saat ini tercatat 31,02 juta jiwa penduduk miskin, yang dihadapkan dengan berbagai dilema kehidupan.

Bahkan, melihat situasi saat ini, Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI), berani memperkirakan jumlah penduduk miskin tahun 2010, akan terus mengalami kenaikan hingga 200.000 penduduk.

Berbagai kalangan menyebutkan, bertambahnya jumlah penduduk miskin itu, akibat kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap nasib rakyat, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Menurut Hafidz Abas, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Hukum dan HAM, hal itu dapat terlihat dari berbagai peraturan daerah (perda) yang dibuat pada tingkat pemerintah daerah.

Kata Hafidz, dari ribuan perda yang dilahirkan, 85% diantaranya dibuat untuk meningkatkan PAD dan 10% untuk memutihkan aset daerah. Sementara, perda yang pro rakyat miskin hanya dibuat 5% saja.

Menurut Hafidz Abas, kebijakan anti kemiskinan seringkali dimaknai seperti "anti narkoba", "anti korupsi", "anti maksiat" atau "anti pornografi". Walhasil, strategi yang menonjol dalam pemberantasan kemiskinan di Indonesia adalah menggusur orang miskin, bukan kemiskinannya.

Sementara itu, pengamat sosial dari Universita Eka Sakti Padang Drs Tarma Sartima MSi mengatakan, bila negara yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat menjalankan kewajiban dalam memenuhi, melindungi, dan menghargai hak-hak dasar, ekonomi, dan budaya warganya, maka kemiskinan itu perlahan akan berkurang dengan sendirinya.

“Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat "wajib" (obligation). Sementara itu, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat "tanggungjawab" (responsibility). Jadi, tanggungjawab yang besar itu berada pada negara,” kata mantan Dekan FISIP UniversitasEkasakti Padang ini.

Dikatakan oleh alunus Universitas Gajah Mada Yogjakarta ini, mengapa negara perlu berperan aktif dalam kebijakan sosial? Sebab, katanya, negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat. Oleh karena itu, Negara pulalah yang paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya.

Kata pria yang sedang merancang program S3 di Universitas Malaysia ini, dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orang pun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

“Memang harus diakui bahwa negara bukanlah satu-satunya “aktor” yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, juga memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Kendati begitu, sebagai public goods, Negara tidak boleh menyerahkan begitu saja pelayanan sosial kepada masyarakat dan pihak swasta.

Menanggapi beratnya beban dari puluhan juta rakyat miskin, ditambah pula dengan kebijakan pemerintah menaikan tarif dasar listrik (TDL) terhitung per 1 Juli 2010, salah seorang pelaku usaha Ir H Iskandar Zulkarnain MT, melontorkan komentarnya. Kata Iskandar, kebijakan yang diambil pemerintah untuk menaikan TDL tersebut, sudah semakin jauh dari kepentingan rakyat, khususnya golongan menengah.

Kebijakan kenaikan TDL itu, kata alumni Fakultas Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, hanya makin menambah beban bagi rakyat, tak terkecuali pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).

“Dengan kebijakan yang diambil itu, pemerintah seolah mengabaikan dampak berantai dari kenaikan TDL tersebut, seperti kenaikan harga barang-barang serta jasa/layanan publik lainnya. Yang pasti, rakyat miskin akan terus terbelenggu dengan kemiskinan yang semakin parah akibat dampak kenaikan TDL tersebut,” ungkap putra asli Sirukam Kabupaten Solok ini.

Dikatakan oleh Iskandar Zulkarnain, dengan kenaikan TDL itu, semakin mengisyaratkan ketidakmampuan pemerintah mengelola anggaran. Dimana seolah-olah pemerintah memberi subsidi, tetapi kenaikan TDL itu ditanggung semua orang, termasuk orang miskin.

F. Fahlevi

POTRET PENDIDIKAN TINGGI HARI INI

No Comments

Belakangan saya semakin risau memikirkan bagaimana kelak nasib pendidikan anak-anak saya. Dengan penghasilan kurang dari cukup, hampir dipastikan kelak anak-nak saya tak bakalan akan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Fakta hari ini mengambarkan bahwa pendidikan tinggi masih merupakan barang mahal di negeri “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja” ini. Terutama semenjak pemerintah memberikan kemandirian bagi perguruan tinggi negeri (PTN), dengan “label” Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara.(PT BHMN) pada beberapa perguruan tinggi di Indonesia, seperti ; seperti ; Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) Universitas Gajah mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lainnya.
Lagi lagi fakta hari ini, meskipun tak terkatakan—namun secara tersirat tergambarkan—dengan pemberian status BHMN kepada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN), pemerintah seolah ingin menyatakan bahwa PTN tersebut memiliki kebebasan untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing, termasuk mematok biaya perkuliahan dan bebas pula menerima masiswa sesuai yang diinginkan.

Status BHMN ini malah seolah menjadi ‘darah baru’ bagi PTN dalam mematok biaya masuk dan biaya perkulihan cukup besar. PTN ini pun cukup punya alasan kuat untuk mematok biya besar, yaitu untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal.

Sebagai ilustrasi, di Universitas Indonesia menerapkan uang pangkal bagi mahasiswa yang lolos Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) antara Rp5 hingga Rp25 juta. Sedangkan untuk mahasiswa yang masuk lewat Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) dikenakan uang pangkal antara Rp25 hingga Rp75 juta.

Institut Teknologi Bandung (ITB) malah menerapkan sistim bebeda. Bila calon mahasiswa dinyatakan lulus Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri 2010 dan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa ITB, maka biaya pendidikan yang diperlukan oleh mahasiswa selama menempuh pendidikan di ITB, dibagi dalam beberapa katagori, seperti : biaya pendidikan di muka (BPM)

Dalam hal ini ITB menawarkan komitmen BPM secara sukarela kepada para peserta Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri yang berminat untuk memilih salah satu program studi di ITB, dalam bentuk Formulir Kesediaan Pembayaran BPM ITB.

Menurut pihak ITB, nilai BPM yang dijanjikan peserta Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri tidak mempengaruhi peluang kelulusan peserta Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri 2010 di ITB. Kelulusan peserta di Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri itu hanya ditentukan oleh hasil ujian tertulis.

Di ITB ini ada pilihan nilai BPM yang dapat diisi oleh peserta Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri yang berminat memilih perguruan tinggi bergengsi ini, yaitu : lebih besar dari Rp55 juta, hanya Rp55 juta, antara Rp25 juta, sampai Rp55 juta, hanya Rp25 juta, Rp15 juta, Rp10 juta, Rp5 juta. Bahkan ITB juga menyediakan blangko BPM bila calon masiswa tidak bersedia membayar uang biaya pendidikan di muka itu.

Seandainya pembayaran BPM tidak dilaksanakan sesuai dengan data yang diisikan oleh peserta di dalam Formulir Kesediaan BPM ITB, maka kelulusan peserta yang bersangkutan di ITB akan dibatalkan.

Sementara itu, di Universitas Andalas (Unand) Padang untuk bisa kuliah di Kedokteran Gigi, calon mahasiswa harus membayar Rp27.970.000. Biaya tersebut terdiri dari biaya pengembangan institusi (sejenis uang pembangunan) sebesar Rp25,55 juta, Rp2.240.000 untuk resgistrasi, sisanya untuk SPP, uang praktikum, uang bakti, dana ESQ, dan untuk keperluan lainnya.

Sedangkan untuk Program Studi Pendidikan Dokter, Unand Padang mematok biaya Rp12.420.000, Psikologi Rp14.070.000, Sistem Informasi Rp11.070.000, Sistem Komputer Rp9.070.000, Keperawatan Rp7.420.000, Kesehatan Masyarakat Rp7.420.000, Teknik Rp7.570.000, Teknologi Pertanian Rp6.570.000, MIPA Rp6.070.000. Ekonomi Rp5.770.000, Peternakan Rp5.570.000, Farmasi Rp5.570.000, Pertanian Rp5.320.000, Hukum Rp5.270.000, Sastra Rp4.770.000 dan ISIP Rp4.720.000.

Inilah potret pendidikan tinggi kita hari ini. Kendati fakta itu sempat membuat saya gamang akan nasib pendidikkan anak-anak saya, namun saya tak akan pernah berhenti berdo’a, agar Indonesia yang dikatakan sebagai negeri “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja” itu, benar-benar terwujud sesuai harapan. Sehingga pendidikan anak-anak rakyat Indonesia, tak hanya menjadi “beban” bagi orang tuanya saja, namun juga menjadi tanggungjawab negara.
Febriansyah Fahlevi

Dimana Nurani

No Comments

Ketika usia saya masih 7 tahun, saya begitu bangga mendengar cerita ibunda saya, yang menyebutkan bahwa negeri yang kami diami ini merupakan sebuah “negeri surgawi”, gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja

Ternyata, gemah ripah loh jinawi itu mengandung makna, rakyat yang hidup makmur dan bahagia melimpah semua kebutuhan hidup. Sedangkan tata tentram kerta raharja berarti tentram dan sejahtra.

Namun, setelah saya beranjak remaja, otak dan nurani saya seolah dipaksa menelaah lebih jauh tentang negeri gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja yang digadang-gadangkan tersebut. Sebab, kala itu, yang saya sua baru sebatas makna dalam kamus belaka.

Jiwa remaja saya kala itu justeru tak mau sekedar mengkonsultasikan makna gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja tersebut hanya pada kamus belaka. Jiwa remaja saya malah bertanya fakta. Benarkah realitanya di negeri ini rakyat hidup makmur dan bahagia melimpah semua kebutuhan hidup (gemah ripah loh jinawi), dan benarkah di negeri ini rakyat hidup tentram dan sejahtra (tata tentram kerta raharja).

Bagi jiwa remaja saya, makna gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja tersebut tak obahnya bagai fosil di balik bebatuan, yang harus diselidiki silsilahnya dengan melakukan sebuah penelitian komprehensif. Sebab, “mata telanjang” saya justeru menemukan fakta masyarakat yang tak mampu menyekolahkan anaknya karena ketiadaan biaya. Dibalik itu, “mata telanjang” saya pun menemui masyarakat yang mengalimi gizi buruk. Lagi-lagi, ini lantaran ketiadaan biaya.

Memang kala saya remaja, tak banyak rakyat yang “menjeritkan” penderitaannya itu. Sebab, saat itu mereka hanya punya pandangan sederhana : “bila tak bisa makan dengan nasi dan lauk, maka talas, jagung, ubi, sagu dan makanan lainnya masih bisa dimakan untuk sekedar penganjal perut”.

Sementara itu, bila tak punya uang untuk menyekolahkan anak-anak mereka, masyarakat ini juga masih punya solusi sederhana ; “anak-anak mereka cukup diajari mengaji, berhitung secara sederhana dan belajar budi pekerti pada guru-guru yang mau mengajarkan secara sukarela tanpa berharap materi”.

Namun, setelah 65 tahun Indonesia meredeka, fakta tentang negeri gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja tersebut, belum juga saya sua.. Bahkan, tragedi yang memilukan hati, makin banyak terjadi di negeri ini. Rakyat menjadi begitu lebih mudah marah lantaran terbelenggu dalam kemiskinan.

Makin hari, di negeri ini, saya juga semakin banyak menemui orang-orang “bertelanjang dada” sambil tersenyum sendiri menyusuri sepanjang jalan. Tak hanya itu, masyarakat yang menampungkan tangan di perempatan jalan dan tempat-tempat keramaian lainnya, pun makin banyak dijumpai dari hari ke hari.

Bila jiwa remaja saya pernah mempertanyakan ; “benarkah realitanya di negeri ini rakyat hidup makmur dan bahagia melimpah semua kebutuhan hidup (gemah ripah loh jinawi), dan benarkah di negeri ini rakyat hidup tentram dan sejahtra (tata tentram kerta raharja)—maka kini jiwa saya yang mulai beranjak tua—malah mempertanyakan dimana “letaknya” hati nurani para pemimpin negeri.

Sebab, fakta yang saya sua, di saat simiskin menguras keringat untuk menghidupi dirinya, sebagain besar pejabat malah hidup dalam kemewahan. Malah fakta terburuk juga saya sua beberapa waktu lalu, dalam situasi rakyat menjerit pilu, pemerintah malah “membuang uang” Rp22,5 milyar untuk membangun pagar Istana Presiden Republik Indonesia.

Setahun yang lalu, di tengah perjuangan rakyat kecil agar bisa makan untuk satu hari, sebuah hal mengejutkan juga muncul. Pemerintah malah menganggarkan dana Rp2 miliar, hanya untuk sekedar merenovasi air mancur bundaran HI, yang menjadi kebanggan warga Kota Jakarta.

Bahkan, beberapa hari menjelang ulang tahun ke-64 tanggal 1 Juli, korps kepolisian malah dikabarkan hidup “berkemewahan”. Menurut laporan ICW, sekitar 21 perwira dan jenderal lembaga bersemboyan Rastra Sewakotama ini, dikabarkan memiliki uang cukup fantastis, yang disimpan di rekening mereka.

Sepertinya ada yang luar biasa sedang terjadi di negeri ini, para pemimpinnya teramat pintar mengkomat-kamitkan kepeduliannya terhadap penderitaan rakyat, lewat berbagai program yang disebutkan berpihak pada rakyat. Namun disisi lain, petinggi negeri malah mengambil kebijakkan, yang jauh kesannya dari kepedulian yang didengungkan itu.

Malah, di tengah buruknya pelayanan publik oleh pemerintah terhadap rakyat miskin, berbagai kebijakkan pemerintah pun terkadang sering membuat masyarakat miskin makin menjerit. Setelah mewacanakan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau pembatasan penggunaannya, kini pemerintah pun menaikkan tarif dasar listrik, yang mulai diberlakukan pada 1 Juli 2010. Inikah yang disebut kepedulian itu. Kalau sudah begini, di mana hati nurani? (Febrianyah Fahlevi)
Dimana Nurani Febrianyah Fahlevi

Dimana Nurani Febrianyah Fahlevi

No Comments
Dimana Nurani
Febrianyah Fahlevi

Ketika usia saya masih 7 tahun, saya begitu bangga mendengar cerita ibunda saya, yang menyebutkan bahwa negeri yang kami diami ini merupakan sebuah “negeri surgawi”, gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja

Ternyata, gemah ripah loh jinawi itu mengandung makna, rakyat yang hidup makmur dan bahagia melimpah semua kebutuhan hidup. Sedangkan tata tentram kerta raharja berarti tentram dan sejahtra.

Namun, setelah saya beranjak remaja, otak dan nurani saya seolah dipaksa menelaah lebih jauh tentang negeri gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja yang digadang-gadangkan tersebut. Sebab, kala itu, yang saya sua baru sebatas makna dalam kamus belaka.

Jiwa remaja saya kala itu justeru tak mau sekedar mengkonsultasikan makna gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja tersebut hanya pada kamus belaka. Jiwa remaja saya malah bertanya fakta. Benarkah realitanya di negeri ini rakyat hidup makmur dan bahagia melimpah semua kebutuhan hidup (gemah ripah loh jinawi), dan benarkah di negeri ini rakyat hidup tentram dan sejahtra (tata tentram kerta raharja).

Bagi jiwa remaja saya, makna gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja tersebut tak obahnya bagai fosil di balik bebatuan, yang harus diselidiki silsilahnya dengan melakukan sebuah penelitian komprehensif. Sebab, “mata telanjang” saya justeru menemukan fakta masyarakat yang tak mampu menyekolahkan anaknya karena ketiadaan biaya. Dibalik itu, “mata telanjang” saya pun menemui masyarakat yang mengalimi gizi buruk. Lagi-lagi, ini lantaran ketiadaan biaya.

Memang kala saya remaja, tak banyak rakyat yang “menjeritkan” penderitaannya itu. Sebab, saat itu mereka hanya punya pandangan sederhana : “bila tak bisa makan dengan nasi dan lauk, maka talas, jagung, ubi, sagu dan makanan lainnya masih bisa dimakan untuk sekedar penganjal perut”.

Sementara itu, bila tak punya uang untuk menyekolahkan anak-anak mereka, masyarakat ini juga masih punya solusi sederhana ; “anak-anak mereka cukup diajari mengaji, berhitung secara sederhana dan belajar budi pekerti pada guru-guru yang mau mengajarkan secara sukarela tanpa berharap materi”.

Namun, setelah 65 tahun Indonesia meredeka, fakta tentang negeri gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja tersebut, belum juga saya sua.. Bahkan, tragedi yang memilukan hati, makin banyak terjadi di negeri ini. Rakyat menjadi begitu lebih mudah marah lantaran terbelenggu dalam kemiskinan.

Makin hari, di negeri ini, saya juga semakin banyak menemui orang-orang “bertelanjang dada” sambil tersenyum sendiri menyusuri sepanjang jalan. Tak hanya itu, masyarakat yang menampungkan tangan di perempatan jalan dan tempat-tempat keramaian lainnya, pun makin banyak dijumpai dari hari ke hari.

Bila jiwa remaja saya pernah mempertanyakan ; “benarkah realitanya di negeri ini rakyat hidup makmur dan bahagia melimpah semua kebutuhan hidup (gemah ripah loh jinawi), dan benarkah di negeri ini rakyat hidup tentram dan sejahtra (tata tentram kerta raharja)—maka kini jiwa saya yang mulai beranjak tua—malah mempertanyakan dimana “letaknya” hati nurani para pemimpin negeri.

Sebab, fakta yang saya sua, di saat simiskin menguras keringat untuk menghidupi dirinya, sebagain besar pejabat malah hidup dalam kemewahan. Malah fakta terburuk juga saya sua beberapa waktu lalu, dalam situasi rakyat menjerit pilu, pemerintah malah “membuang uang” Rp22,5 milyar untuk membangun pagar Istana Presiden Republik Indonesia.

Setahun yang lalu, di tengah perjuangan rakyat kecil agar bisa makan untuk satu hari, sebuah hal mengejutkan juga muncul. Pemerintah malah menganggarkan dana Rp2 miliar, hanya untuk sekedar merenovasi air mancur bundaran HI, yang menjadi kebanggan warga Kota Jakarta.

Bahkan, beberapa hari menjelang ulang tahun ke-64 tanggal 1 Juli, korps kepolisian malah dikabarkan hidup “berkemewahan”. Menurut laporan ICW, sekitar 21 perwira dan jenderal lembaga bersemboyan Rastra Sewakotama ini, dikabarkan memiliki uang cukup fantastis, yang disimpan di rekening mereka.

Sepertinya ada yang luar biasa sedang terjadi di negeri ini, para pemimpinnya teramat pintar mengkomat-kamitkan kepeduliannya terhadap penderitaan rakyat, lewat berbagai program yang disebutkan berpihak pada rakyat. Namun disisi lain, petinggi negeri malah mengambil kebijakkan, yang jauh kesannya dari kepedulian yang didengungkan itu.

Malah, di tengah buruknya pelayanan publik oleh pemerintah terhadap rakyat miskin, berbagai kebijakkan pemerintah pun terkadang sering membuat masyarakat miskin makin menjerit. Setelah mewacanakan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau pembatasan penggunaannya, kini pemerintah pun menaikkan tarif dasar listrik, yang mulai diberlakukan pada 1 Juli 2010. Inikah yang disebut kepedulian itu. Kalau sudah begini, di mana hati nurani?