Berkeliling Mencari Sesuap Makan

Berkeliling Mencari Sesuap Makan

No Comments
Profesi sebagai tukang jahit, telah dilakoni Sukirman semenjak tahun 1979. Dengan profesi itu, Ia telah berkelana sampai ke Jakarta dan Medan. Namun, lantaran kini pakaian jadi ditawarkan dengan harga murah, profesinya nyaris terancam. Akhirnya Sukirman mensiasatinya dengan masuk kampung ke luar kampung.

Sukirman (47 tahun) adalah seorang tukang jahit yang kini hidup tak obahnya bak mumbang alit ditangkai mayang, basah kuyup direnyai waktu. Sebab, dengan banyaknya pakaian jadi (pakaian langsung pakai dengan bermacam merek dan ukuran) yang dijual murah di toko-toko pakaian, ia tak lagi bisa mengantungkan hidup dari profesinya itu.

Padahal, kata pria kelahiran Pagulugu Kuraitaji-Pariaman ini mengenang masa kejayaannya, dulu ia bisa mendapat order jahitan 10 sampai 15 lembar sehari. Namun beberapa tahun belakangan--terutama semenjak pakaian jadi banyak dijual dengan harga murah--ia nyaris tak dapat order jahitan. Bahkan, untuk memperoleh 2 order jahitan saja sudah teramat susah.

Bersama pergeseran waktu, ternyata pria yang memulai pekerjaan sebagai tukang jahit di Jakarta pada tahun 1979 ini, dituntut untuk bisa berpacu dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Disamping itu, ia masih saja bertekad mempertahankan profesinya sebagai tukang jahit di tengah maraknya perkembangan pakaian jadi.

Ayah dari 3 orang putra dan putri ini, bukannya tak tahu bahwa perjalanan waktu turut merobah pola pikir manusia. Ia juga bukan tak tahu bahwa kecanggihan teknologi telah merambah berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ia juga sangat menyadari, bahwa saat ini manusia telah terbiasa dengan kehidupan yang serba ringkas dan cepat. Makanya, tak salah bila tukang jahit tak lagi jadi pilihan untuk membuat pakaian baru.

Tak mau hidup bagai tongkang yang terkatung-katung di lautan, sekitar tahun 2002 Sukirman pun bertekad meninggalkan Jakarta, kali ini Kota Medan yang ingin ia tuju.

Untuk meraih gemintang dengan gemilang di rantau orang, Sukirman pun rela meninggalkan istrinya-Darusah (27 tahun) di Jakarta. Padahal, saat itu usia pernikahannya belum genap berjalan 1 tahun.

Di Kota Medan, Sukirman pun banting setir. Meski masih mempertahankan profesi sebagai tukang jahit, namun kali ini ia lebih memilih menjadi tukang jahit keliling, dengan menggunakan becak. Ada yang baru dari profesi Sukirman kali ini ! Di Kota Medan, ia bukan lagi sebagai tukang jahit pakaian, namun sebagai tukang permak (memperbaiki) pakaian dan tas.

Meski harus bermandikan butiran-butiran kristal yang bernama keringat, Sukirman tak pernah lelah berkeliling ke setiap sudut pemukiman masyarakat. Dengan satu harapan, bisa memperoleh uang halal dari hasil pekerjaan yang digelutinya itu.

Waktu terus bergulir, harapan untuk meraih gemintang dengan gemilang di rantau orang, agaknya tak tergapai tangan. Kondisi itu membuat Sukirman tak bertahan lama di Kota Medan. Sebab, uang dari hasil jerih payahnya, hanya sekedar untuk bisa bertahan hidup di rantau orang. Sementara, uang yang diharapkan bisa dikirimkan pada anak dan istrinya di Jakarta, susah untuk didapatkan.

Kembali keadaan membuat Sukirman membulatkan tekad untuk meninggalkan rantau. Kali ini Kota Padang yang ingin ia tuju. Setelah mempertimbangkan dengan matang, pada tahun 2006 Sukirman pun menginjakkan kaki di Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat, dan mengontrak rumah di Jalan Tan Malaka Jati-Kota Padang.

Perlahan namun pasti, ternyata roda nasib menentukkan Sukirman bisa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit di kampung halamannya. Uang yang diperoleh dari keringat yang mengalir di tubuhnya itu pun dikirimkan pada anak dan istrinya.

Kata Sukirman, dari jasa mempermak pakaian dan tas itu, ia bisa memperoleh uang sekitar Rp50 ribu sampai 100 ribu sehari. “Alhamdulillah, bila saya berhenti di satu tempat, paling sedikit ada sekitar 3 orang yang mengupah barangnya untuk dipermak, seperti celana jeans, jaket, tas dan memperbaiki resleting,” ungkap Sukirman dengan wajah berbinar.

Terkait dengan tarif yang dipatok, kata Sukirman ia tak pernah mematok harga tinggi. Untuk perbaikan resleting dan memendekkan celana, ia hanya memungut upah Rp5.000. Namun, bila bahan celana yang dipotong itu jenis jeans, upahnya adalah Rp8.000. Sementara, untuk mempermak celana atau jaket, kata Sukirman, memang tarifnya sedikit mahal, yaitu Rp15.000.

Sukirman adalah sosok pahlawan bagi keluarganya. Agar bisa menghidupi istri dan ketiga orang anaknya, mereka rela hidup terpisah. Bahkan, sebagai pahlawan keluarga, sepertinya Sukirman telah menyiapkan keletihan akan sebuah perjalanan yang panjang. Ia pun telah menyiapkan duka, sebagai bekal lagu di perjalanan, terutama dalam menghadapi hari-hari yang tak pernah kenal tawar menawar. F. Fahlevi

(OPERA LAPAU) Barack Obama ka Diberi Gelar Adat

No Comments

Kalau Ujang Temok tak duduk di lapau Tan Angguak, ada-ada saja nan kejadi bahan cerita dek urang nan duduk di lapau tu. Sampai-sampai, Etek Lebe bini tercinta Tan Angguak, sata pula ikut berbicara. Padahal bila ada Ujang Temok, Etek Lebe lebih banyak mengemat-ngemat saja.

Memang, semenjak Ujang Temok tiba-tiba menjadi Pemred Koran Hantu Belawu, agak merumas juga perut orang bercerita lepas-lepas di lapau itu. Tak tagak mentagi mereka melihat kaning Ujang Temok nan sedikit tokong itu. Agak berdabok-dabok juga dada mereka bila mau mengeluarkan pendapat di depan Ujang Temok. Sebab, orang nan duduk di lapau ini mengira Ujang Temok memang santing benar dari mereka.

Tapi ya sudahlah, kok ka disebut kesadanya, terbuka pula coki Ujang Temok ini nanti. Pediar sajalah alam nan menghukumnya. Nan pasti, saat ini orang sedang sagan-saganya ke Ujang Temok, maklum Pemred Koran Hantu Belawu gitu loh…!

Nan pasti, dua hari nan lalu, para pelapau di lapau Tan Angguak agak bisa bercerita lepas. Sebab, ketika itu Ujang Temok belum nampak batang hidungnya di lapau itu. Kesempatan itu digunakan dek Uwo Pulin untuk bercerita tentang gala Sangsako maupun Sako Adat nan lah banyak disandakan pada orang-orang terkenal negeri ini.

“Coba lihat dek angku-angku, kini gala adat kita sudah banyak disandangkan ke orang nan bukan berasal dari nagari kita. Kejadi apa nagari ini lagi, sudah habis gala adat kita dibaok dek urang,” kecat Uwo Pulin bantuk nan tau benar dengan adat.

Kata berjawek gayung pun bersambut. Sam Boya nan agak mengerti sedikit soal adat pun menjawab ; “gala nan diagiskan tu bernama gala Sangsako. Sepanjang ada adat dan suku jo kaum nan mengagiskannya, rasanya bulih-bulih saja kok. Selain itu, pemberian gala Sako Adat-pun dibulihkan, sepanjang batunggua panabangan, ada banda dituruikan aia, ada ingiran sako. Artinya, harus ada kaum atau suku nan mengangkatnya. Inilah nan disebut pantah tumbuh hilang berganti,” kecat Sam Boya.

Di tengah asiknya orang di lapau tu bercerita, tiba-tiba Ujang Temok menampakkan batang hidungnya. Begitu tersirap darah orang di lapau itu. Tapi, dek karena Ujang Temok langsung sata menyorong, agak tenang juga dada orang nan duduk di lapau itu.

“Ambo rasa apa nan dikecekkan dek Sam Boya itu ada benarnya. Sepanjang orang nan diagiskan gala adat itu sumbangsih positifnya cukup berarti dan sudah nampak hasilnya, tak ada salahnya mereka diagis gala. Serupa nan pernah diagiskan ke Sri Sultan Hamengkubuono X, yaitu Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati. Sedangkan bininya Permaisuri GKR Hemas dianugrahkan gala Puan Gadih Puti Reno Indaswari,” kecek Ujang Temok.

Muncung buruk Ujang Temok terus menciracau dan menyebutkan beberapa orang terhormat nan pernah diagis gala, seperti ; Amien Rais degan gala Tuanku Alam Nan Sati, HM Taufik Kiemas dengan gala Datuak Basa Batuah dan Megawati Soekarnoputri dengan gala Puti Reno Nilam, Dr.H Solihin Jusuf Kalla yang bergala Datuak Rajo Penghulu, Surya Paloh dengan gala Tuanku Johan Pahlawan, serta gala untuk Soesilo Bambang Yudhoyono yaitu Yang Dipertuan Maharajo Pamuncak Sari Alam, dan bininya Ny Ani Yudhoyono mendapat gala Puan Puti Ambun Sari.

“Harusnya angku-angku bangga, sebab tak kesada orang bisa menyandang gala adat itu. Buktinya, angku-angku lihat saja siapa-siapa nan kini menyandang gala itu. Mereka tidak BOB (bukan orang bisa) di negeri kita! Banggalah kita mempunyai ‘mamak’ orang-orang hebat. Tapi, kini nan peralu benar angku-angku pikiakan, bagaimana gala adat kita ini bisa menyebarang tak hanya sampai ke pulau jawa, tapi juga bisa menyeberang sampai ke Amerika,” kecat Ujang Temok berapi-rapi.

“Apa makasud waang Jang,” Tanya Uwo Pulin pula.

Sambil tersenyum Ujang Temok pun menjawab ; “Uwo kan tau kalau Presiden Amerika-Barack Obama begitu dibangga-banggakan dek urang kita, karena dia pernah sikola di negeri kita dulu. Jadi, tak ada salahnya pula bila kita berpikir akan mengagis Barack Obama ini gala adat, biar nak bermamak pula kita di Amerika itu,” kecat Ujang Temok tanpa beban.

Tampaknya, ‘rapat di lapau’ ini setuju dengan ide brilian Ujang Temok. “Kalau serupa ini bentuk-bentuknya, tak ada salahnya kita agis Barack Obama tu gala adat. Bulih tak lantas angan saja orang Amerika itu sama kita. Sebab, presidennya sudah menjadi mamak kita,” kecat kesada orang nan ada di lapau itu.

Kalau ke iya benar ide itu dijalankan, mudah-mudahan saja ‘rapat lapau’ itu tidak hanya sekedar menjadi ‘rapat mancit’ atau ‘rapat karo’. F. Fahlevi