Berharap Hidup dari Belas Kasihan

No Comments

Suatu hari di hamparan langit bulan Juli tahun 1987, seorang dara bernama Daniar (19 tahun), begitu bahagia bisa dipersunting oleh pria pujaan hatinya-Aliumar (21 tahun). Sepasang anak manusia kelahiran Kabupaten Padangpariman-Provinsi Sumatera Barat yang bertemu jodoh di Kota Medan-Provinsi Sumatera Utara ini, pun merangkai hari-hari layaknya pasangan suami isteri.

Kebahagian Aliumar sebagai lelaki menjadi lengkap, tatkala isterinya pada bulan Maret 1988 melahirkan putri mereka di Klinik Bunda Medan. Namun, kebahagian suami-istri yang membuka warung nasi di Kota Medan ini tak bertahan lama. Sebab, anak yang terlahir dengan berat 1,3 kg itu, saat lahir tidak bereaksi dan tidak bergerak layaknya bayi normal.

Bak mumbang alit ditangkai mayang basah kuyup direnyai hari, begitu remuk persaan pasangan suami-isteri ini. Namun, mereka tetap menjalani cobaan itu dengan tulus hati.

Bayi wanita mungil itu pun mereka pelihara, dan diberinama Yendi. Dengan segenap cinta yang bersumber dari “mata air” yang paling tawar, Daniar tak pernah lelah berupaya mencari kesembuhan untuk sang buah hati. Ia pun berobat ke sana kemari. Namun kesembuhan yang diharapkan tak kunjung didapat.

Lantaran harta benda mereka habis terkuras untuk mengobati Yendi, mereka menjadi kesulitan untuk bertahan hidup di Kota Medan. Sekitar tahun 2003, pasangan suami-isteri yang telah memiliki 5 orang anak ini berniat untuk pulang kampung ke Pariaman. Namun, belum sempat mewujudkan keinginan itu, akhirnya Aliumar meninggal dunia dalam usia 40 tahun. Begitu lengkap penderitaan yang dialami Daniar!

Tak mau bak menjadi elang yang tersesat di rimba raya, akhirnya Daniar memboyong anak-anaknya ke Pariaman. Di kampung halamannya ini, ia mencoba bertani.

Namun lantaran anak tertuanya itu butuh perhatian ekstra dari waktu-ke waktu, Daniar tak bisa berkonsentrasi dalam menjalani profesi sebagai petani. Hari-harinya harus dihabisi dengan mendampingi dan melayani putri tertuanya itu, sebab ia tak bisa apa-apa.

Dalam kondisi tanpa pekerjaan, cobaan kembali datang mendera. Yendi terserang penyakit, sehingga ia tidak makan dan minum berhari-hari. Derita Daniar dan anaknya Yendi, nyaris berakhir pada hari Minggu 25 Januari 2004, sekitar jam 17.30 WIB Yendi dinyatakan meninggal dunia.

Namun setelah mayat itu dimandikan dan dikafani pada hari Senin pagi (26 Januari 2004), tiba-tiba Allah Aza Wajala menunjukkan kuasa-Nya, mata Yendi kembali terbuka dan nadinya kembali berdenyut.

Semenjak peristiwa itu, Daniar tak mau meninggalkan Yendi walaupun sekejap saja. Hari berbilang tahun pun berganti, ketentuan takdir ternyata menempatkan Daniar memiliki anak cacat. Kini usia anak wanitanya itu memasuki 21 tahun. Namun buah hatinya itu tak jua kunjung bisa apa-apa, hanya bisa telentang mengarah langit.

Sementara itu kehidupan nyata mengharuskan Daniar untuk bertahan hidup, disisi lain ia tak punya pekerjaan sama-sekali. Hanya bergantung dari belas kasihan keluarga.

Tak mau melakoni hidup bagai benalu, pertengahan tahun 2006 Daniar memutuskan untuk mengadu untung di Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat. Disini ia menjalani hidup sebagai pedagang keripik balado. Sambil mengendong Yendi (layaknya mengendong bayi dengan kain) ia menjajakan dagangannya di Kantor Balai Kota Padang.

Namun karena untuk menjalani profesi itu ia harus membeli bahan-bahan dan memasaknya, perhatian Daniar terhadap Yendi menjadi terbagi. Yendi pun sering ditinggal sendirian saat ia berbelanja bahan-bahan keripik balodo-nya ke pasarraya. Hatinya sering teriiris begitu pulang dari berbelanja bahan dagangan. Sebab, ia menemui anaknya sudah bergelimang dengan air kencing dan buang air besarnya. Bahkan, (maaf) bergelimang dengan darah haid-nya.

Dalam keadaan demikian, akhirnya Daniar memutuskan mencari profesi yang sekaligus bisa membawa anaknya. Akhirnya, sekitar 8 bulan lalu, ia memutuskan untuk mengemis di kawasan Mesjid Muhammadiyah dan di depan Kantor Balaikota Padang.

Duh…., kasihan Daniar. Ia bagaikan pohon yang kehilangan satu dahannya yang kuat. Pohonya menderita, namun tidak mati. Kini ia tengah mengarahkan seluruh dayanya untuk tetap beretahan dengan dahan-dahan yang lemah. Meski begitu, ia tetap berharap akan tumbuh dahan-dahan yang baru, untuk mengisi dan menambah kekuatan pada pohonya. F. Fahlevi

Dalam Kemiskinan Penyakit pun Menyerang

No Comments

Muhammad Alim sekitar tahun 2008 lalu pernah menjalani operasi di RS M Djamil Padang. Namun, untuk tindakan medis berikutnya, ia terbentur biaya. Akibatnya, kini ia terperangkap dalam penderitaan.

Bagai elang yang tersesat di rimba raya, yang hanya bisa berkulik tatkala senja raya, begitulah nasib pria malang, Muhammad Alim (26 tahun) alias Ahmad. Warga di tepi jalan raya Cubagan-Jorong Koto Panjang-Nagari Muaro Paneh-Kecamatan Bukit Sundi–Kabupaten Solok-Provinsi Sumatera Barat ini, tergolek tak berdaya. Ladang mimpinya bagai punah terbakar, dan meneggelamkannya dalam hari-hari yang tak lagi berseri.

Duka yang datang itu, sama sekali tak pernah dibayangkan akan dirangkai oleh pria yang berprofesi sebagai tukang ojek itu. Namun, kuasa Allah Aza Wajala, ternyata di atas segala-galanya.

Menurut pengakuan ibunda pria yang kabarnya sudah memiliki 1 orang anak---namun sudah meninggal dunia beberapa waktu lalu, duka yang datang itu tanpa diduga sebelumnya. Awalnya, kata orang tua Muhammad Alim yang bernama Nurmis (55), anak ketiganya dari delapan bersaudara itu, menjalani operasi usus buntu beberapa bulan lalu di RS M. Djamil Padang.

Pasca operasi itu, lanjut Nurmis, Muhammad Alim harus melalui tindakan medis lainnya, yaitu berupa cemo therapy. Namun lantaran perjalanan nasib perekonomian keluarga ini begitu ’sunsang’, tindakan cemo therapy itu tak dapat mereka lakukan. Sebab, biayanya teramat mahal. Untuk satu kali cemo saja, mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp1,5 juta.

Hari berbilang, bulan pun berganti ! Ternyata dalam perjalanannya, sang waktu mentakdirkan ’duka lara’ pada Muhammad Alim. Tubuhnya yang dulu kekar dan rona wajahnya yang dulu segar, kini malah tergolek lemah. Sebab, menjelang bulan puasa (Ramadhan) 2008, perutnya kian membesar.

Bahkan, berat badannya terus menurun dari waktu ke waktu. Kini, yang ada hanya kulit pembalut tulang. Sementara, seberkas ’cahaya’ tak lagi tersirat di wajahnya. Sebab, wajah yang dulu segar, kini berganti pucat pasi.

Derita Muhammad Alim belum ungkai sampai disitu. Kenyataan pahit pun harus rela ia terima. Sebab, di tengah kondisi menyedihkan itu, irama nafasnya pun tak lagi beraturan. Karena, ia sering mengalami sesak nafas.

Penderitaan Muhammad Alim kian lengkap tatkala ia merasakan bagai tongkang di lautan yang dimainkan oleh gelombang. Sementara, perahu dan kapal yang berpapasan dengan sang tongkang, seolah tak peduli. Begitu pulalah nasibnya hari ini. Sebab, sebenarnya derita yang ia alami itu telah terwartakan di seluruh pelosok kampung. Namun---bila boleh menyesalkan---duka yang dialami Muhammad Alim itu hanya sampai sebatas menyentuh telingga orang kampungnya saja, namun belum menyentuh ke dalaman nurani mereka. Akibatnya, beban itu seolah dipikull sendiri.

Memang Muhammad Alim tak akan menumpahkan tangisnya terhadap derita yang dialaminya itu, sebab ia terlalu ’jantan’ untuk melakukan tindakan tersebut. Kendati demikian, jauh di lubuk hatinya, ada kesedihan yang terpatri di hatinya yang paling tawar. Kesedihan itu hanya ia pendam. Bahkan, mungkin saja suatu waktu akan ia muntahkan, lantaran tak kuasa menanggung derita yang datang.

Dalam kehidupan yang tak kenal tawar menawar ini---pun dalam kondisi kesehatan yang sangat memprihatinkan itu, Muhhamad Alim juga dipaksa keadaan untuk bisa ’berbetah-betah’ bertahan di kamar yang tak layak huni. Sebab, kamar yang ia huni saat ini cukup sempit, hanya berukuran sekitar 1,5 x 3 meter. Sementara, ia harus bertahan hidup dengan usus yang membulat merah, persis bak tomat masak. Ususnya itu pun dibungkus dengan benda berupa plastik. Keadaan itu membuat Muhammad Alim tak obahnya bagai sepotong besi, yang selalu diuji dan dibakar di perapian

Sebenarnya terhadap derita yang dialami Muhammad Alim itu, ibunda tercitanya ingin berteriak. Namun sayang, teriakkan itu dirasa hanya bagaikkan sebuah teriakkan di hutan luas, lantang namun tak ada yang mendengar !

Kendati begitu, ibunda Muhammad Alim yang bernama Nurmis, masih tetap menitipkan harapan di nadi dan setiap detak jantungnya. Sebab, ia masih punya harapan, ia masih punya Tuhan yang selalu mendengarkan keluh kesah umat-Nya.

Untuk kesembuhan anaknya itu, barisan do’a-do’a tak lupa dipanjatkan oleh Nurmis keharibaan Allah Al-Mujibusshamad. Dalam kondisi tak berdaya itu, Nurmis berharap datangnya sebuah keajaiban. Sebuah keajaiban yang berasal dari ridho Allah Subhanawata’ala !.

Nurmis tak hanya sekedar berharap keajaiban belaka, berbagai upaya pun terus ia lakukan, termasuk bekerja keras memeras keringat, demi menggumpulkan rupiah, agar bisa merawat anaknya. Sebab, saat ini Muhammad Alim hanya diasupi makanan berupa susu fomula. Bahkan, lantaran ketiadaan biaya, saat ini anaknya itu tak lagi dapat asupan obat-obatan.

Di rumah kayu berukuran rendah sekaligus merangkap warung rokok dan jajanan yang terletak persis di tepi jalan raya Cubagan-Jorong Koto Panjang-Nagari Muaro Paneh-Kecamatan Bukit Sundi–Kabupaten Solok itu, Nurmis berupaya mengumpulkan rupiah demi rupiah dari para konsumen yang berbelanja ke warungnya. Namun, upaya keras Nurmis itu ternyata belum berbuah. Sebab, uang yang berhasil ia kumpulkan, baru sebatas untuk makan mereka sekeluarga.

Bila realita ini terus bergulir, Nurmis dipastikan tak bakal bisa mewujudkan keinginannya untuk menyembuhkan Muhammad Alim. Hanya keajaiban Allah dan uluran tangan para dermawan-lah yang mampu melepaskan Nurmis dan Muhammad Alim dari penderitaannya.

Di Usia Belia Mereka Harus Berjuang

No Comments

Menurut data dari Internasioanal Labor Organization (ILO), sedikitnya terdapat 246 juta pekerja anak di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 75 persen diantaranya, terlibat dalam bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Di Indonesia diperkirakan empat juta anak di bawah usia 18 tahun terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya atau berpotensi bahaya.



Hari masih terbilang pagi, mentari pun belum seberapa tinggi. Namun Senin 11 Mei 2009 itu, Sudirman (15 tahun) sudah harus berjuang mengais rupiah di lampu pengatur lalu lintas (traffic light), dekat perempatan jalan Padang Baru-Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat.

Setiap ada mobil yang berhenti, siswa kelas II SMPN 3 Pariaman ini, melonggokkan kepalanya ke kaca jendela mobil yang berhenti di traffic light itu. "Pak beli sapunya pak," ujarnya dengan wajah menghiba.

Ada yang peduli, namun tak sedikit pula yang meremehkan rintihan anak yatim ini. Membukakan kaca mobil pun mereka enggan! Namun, agaknya Sudirman memahami bahwa hidup adalah perjuangan, makanya ia tak patah arang.

Mujur bagi Sudirman, pagi itu seorang pengendara mobil jenis Kijang Grend Warna Biru, berplat polisi BA 2538 JZ melambaikan tangan padanya. Lambaian itu diyakini Sudirman sebagai isyarat membeli dagangannya.

Sembari menenteng dua buah Sapu Lidi, Sudirman pun segera menyeberangi jalan, dan berharap barang dagangannya akan terjual pada saat itu. "Beli sapu Pak," ujarnya dengan wajah sedikit berbinar.

Mungkin, lantaran sapu yang dijajakan Sudirman terbilang murah, hanya Rp3.500, pengendara mobil Kijang Biru itu akhirnya membeli kedua sapu tersebut. Bahkan. uang lembaran Rp10.000 yang ia sodorkan, kembaliannya tak diambil. "Ambil sajalah kembaliannya untuk kamu," ujar pengendara mobil tersebut pada Sudirman.

Kata Sudirman, hari ini nasibnya lagi mujur. Padahal, ia baru saja menggelar daganggannya. Namun demikian katanya, tak jarang pula ia bernasib apes. Kendati mulai menjajakan Sapu Lidi pada jam 08.30 Wib, bahkan hingga jam 14.00 Wib, hanya satu sapu yang laku terjual.

Kendati begitu, anak ke 2 dari 5 orang bersaudara ini, masih menyimpan beribu harapan agar sapunya terjual habis setiap hari. Bahkan, ia tetap optimis meski harus bolak-balik antara Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman, dengan membawa sedikitnya 20 buah Sapu Lidi.

Kata Sudirman, ia berjualan sampai ke Kota Padang, hanya saat liburan sekolah saja. Pada hari-hari biasanya, ia membantu ibunya yang berprofesi sebagai penjual miso di Kota Pariaman.

"Jualan sapu di Kota Padang, lumayan juga hasilnya Bang. Kadang dalam satu hari, saya bisa meraih penghasilan sampai Rp20.000," ujarnya sedikit bangga.

Di lokasi yang sama, nasib yang sama pula juga harus dilalui Ibrahim (11 tahun). Di perempatan jalan Padang Baru tersebut, murid kelas IV SD Pauh ini, juga berupaya mondar-mandir menjajajakan sapu pada orang-orang yang berhenti di traffic light itu.

Berbeda dengan Sudirman, Ibrahim berjualan sapu di jalan itu lantaran ayahnya tak bisa diharapkan untuk mencari nafkah, karena kedua kakinya buntung. Sementara ibunya hanya berprofesi sebagai buruh cuci.

"Ayah saya tak bisa bekerja, karena kakinya buntung. Sementara, ibu juga tidak punya pekerjaan tetap. Ibu hanya buruh cucian, dan kadang-kadang ia membantu mencuci piring di rumah makan," papar anak ke 3 dari 5 bersaudara ini.

Realita yang dihadapi anak-anak di bawah usia 18 tahun ini, menurut data, tak hanya terjadi di Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat saja. Menurut data lembaga survei, di Jakarta anak-anak jalanan seperti Sudirman dan Ibrahim, jumlahnya cukup membludak, terutama semenjak krisis ekonomi melanda. Mereka bekerja apa saja demi mengais rupiah demi rupiah, seperti ; menjadi pengamen, penjaja koran, menyemir sepatu, mengemis, pemulung dan lainnya.

Celakanya, lantaran getirnya kehidupan ekonomi ayah dan ibunya, mereka malah harus bekerja dari pagi hingga larut malam, tanpa sempat bersekolah, bermain dan bergembira seperti anak-anak pada umumnya.

Bahkan, menurut data dari Internasioanal Labor Organization (ILO), kejadian seperti itu juga terjadi di negara lain. Di India misalnya, di negara ini terdapat ribuan anak lelaki bekerja 10 jam sehari di tambang batu bara dengan suhu api sampai ratusan derajat.

Parahnya, keringat dan darah mereka hanya dibayar beberapa dolar per bulan. Sedangkan di Iran, gadis-gadis kecil, dipaksa keadaan bekerja di pabrik untuk mengikat benang.

Menanggapi raelita pekerja anak ini, pengamat sosial-dari Universitas Ekasakti (Unes) Padang-Drs Tarma Sartima MSi, melontarkan pandangannya. Kata Tarma Sartima, pada dasarnya pekerja anak-anak bertentangan dengan UU No.39/1999 tentang Hak Azazi Manusia.

Selain itu, kata Tarma, pekerja anak juga bertentangan dengan Konvensi Hak Anak (pasal 32), yang menyebutkan ; bahwa anak-anak harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan melakukan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya.

Tarma juga mengatakan bahwa pekerja anak bertentangan dengan Konvensi ILO No 182, dituangkan dalam UU No 23 Tahun 2002, yang menyatakan anak di bawah umur 18 tahun, dilarang bekerja di lingkungan yang berbahaya.

Melihat kenyataan itu, sebenarnya pemerintah, melalui Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, telah mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 5 Tahun 2001, tentang Penanggulangan Pekerja Anak (PPA).

Dalam keputusan itu, pemerintah pun telah menyusun aneka program, antara lain: melarang dan menghapus segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, memberi perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan, memperbaiki pendapatan keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang anak dengan wajar. Selain itu, pemerintah telah berupaya melaksanakan sosialisasi program PPA kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat.

Namun, sepertinya dari keseluruhan program tersebut, belum nampak kemajuan yang signifikan dalam menanggulangi masalah pekerja anak dan pemenuhan hak anak secara keseluruhan. Tampaknya, upaya penghapusan pekerja anak, hingga saat ini baru sekedar wacana. F. Fahlevi

Menggantungkan Asa di Lantai Kelas

No Comments


Mereka duduk di lantai dan belajar dalam sarana serba terbatas. Kecerian masih saja terpancar dari diri para bocah di kelas itu. Sementara, raut ketulusan tak pernah sirna dari rona wajah para pendidiknya. Inilah realita yang ada di PAUD Kasih Ibu, Watas-Kelurahan Pisang-Kecamatan Pauh-Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat.


Ruangan berukuran sekitar 4 x 4 meter itu sangat terlihat sederhana. Di ruangan ini tidak di terlihat meja dan kursi. Tak pula disua gambar-gambar penunjang, hiasan ruangan dan dinding yang penuh cat warna-warni.

Ruangan yang sederhana ini, sebenarnya adalah gedung Balai Pemuda Wates-Kelurahan Pisang-Kecamatan Pauh, yang 3 tahun belakangan dimanfaatkan oleh ibu-ibu PKK untuk mengelola tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kasih Ibu. Ruangan ini juga dimanfaatkan ibu-ibu PKK Kelurahan Pisang untuk melaksanakan program Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) untuk kesehatan ibu dan anak.

Di tengah kesederhanaan tampilan ruang kelas PAUD Kasih ibu ini, juga tak dijumpai alat peraga/permainan edukatif, mainan anak, mainan kayu dan sarana penunjang belajar lainnya. Teramat sederhana memang. Namun, bila ada yang menyebutnya memprihatinkan, memang begitulah realitanya! Padahal, dari ruangan sederhana inilah para pendidiknya memberikan rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Dalam ruangan yang serba minim sarana ini pulalah para pendidik yang tulus itu melakukan bentuk penyelenggaraan pendidikan, yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik anak.

Di PAUD Kasih Ibu itu, tenaga guru yang hanya berjumlah dua orang, tak pernah bosan mengasah kecerdasan dan daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi, serta interaksi sosial anak-anak usia dini di Kelurahan Pisang-Kecamatan Pauh.

Kendati harus melakukan tugas dalam sarana terbatas untuk mencari model dalam mengembangkan daya imajinasi anak usia dini, namun dua orang pendidik PAUD Kasih Ibu, yaitu ; Andriani (35 tahun) dan Murniati (41 tahun) tak pernah mengeluh.

Baik Andriani maupun Murniati menyadari betul bahwa PAUD ini merupakan program pemerintah yang harus dijalankan. Dimana, dalam pemenuhan hak pendidikan sejak dini (usia 3 - 5 tahun), pemerintah mendorong setiap kelurahan yang ada di Indonesia untuk memiliki minimal satu PAUD. Karena, PAUD merupakan alternatif pemenuhan hak pendidikan selain Taman Kanak-Kanak (TK) atau Taman Pendidikan Alqur’an (TPA).

Kata Andriani yang dipercaya mengelola PAUD Kasih Ibu itu, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2005, PAUD termasuk dalam jenis Pendidikan Non Formal. Pendidikan Non Formal selain PAUD yaitu Tempat Penitipan Anak (TPA), Play Group dan PAUD Sejenis. PAUD sejenis artinya PAUD yang diselenggarakan bersama dengan program Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu untuk kesehatan ibu dan anak). Sedangkan pada Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), PAUD dimasukkan ke dalam program Pendidikan Luar Sekolah (PLS).

Dikatakan, pada penyelenggaraan PAUD, jenis pendidikan ini tidak menggunakan kurikulum baku dari Depdiknas, melainkan menggunakan rencana pengajaran yang disebut Menu Besar. Menu Besar ini, kata Andriani, mencakup pendidikan moral dan nilai keagamaan, fisik/motorik, bahasa, sosial-emosional dan seni. Panduan dalam Menu Besar ini akan dikembangkan oleh tiap PAUD, berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masing-masing PAUD.

”Selain tidak menggunakan kurikulum baku, PAUD juga ditujukan untuk kalangan ekonomi miskin. Oleh karena itu, PAUD tidak menarik iuran sekolah atau menarik iuran besar. Sebab, PAUD merupakan tempat untuk memenuhi hak pendidikan anak, mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma,” papar Andriani.

Entah lantaran harus memberikan pendidikan murah atau gratis, ternyata hal itu membuat PAUD Kasih Ibu di Kelurahan Pisang ini harus berjalan apa adanya. Bahkan, untuk biaya operasional PAUD itu, biasanya mereka mengandalkan sumbangan berbagai pihak.

Lantaran terlalu banyak bergantung dari sumbangan pihak ke tiga, maka tak jarang pula sumbangan yang didapat itu hanya dapat memenuhi bahan belajar murid belaka. Namun hal lain, seperti honor para pendidik, ternyata belum dapat terpenuhi secara manusiawi. Padahal, para pengajar PAUD ini, juga memerlukan kebutuhan keluarga yang mesti dipenuhi.

Disisi lain, tak jarang pula para orangtua murid juga meminta adanya rekreasi bersama, atau pemakaian baju seragam. Sementara, untuk kebutuhan sejenis ini, PAUD tidak memiliki dana. Untuk mengatasi persoalan yang demikian, kata Andriani, PAUD Kasih Ibu akhirnya menarik iuran sekolah. Iuran ini pun tidak bisa besar jumlahnya, karena para murid PAUD berasal dari keluarga berekonomi lemah. Rata-rata para orang tua murid hanya mengeluarkan uang Rp20.000 per bulan. Duh…., begitu memprihatinkan. F. Fahlevi

Mantan Atlit Nasional Jadi Tukang Ojek

1 comment

Di era tahun 80-an, Sabaruddin adalah pejuang olah raga, ia membela negara di pentas dunia. Mendali bergensi tak sedikit pula dipersembahkannya untuk Indonesia. Namun kini, nasib yang dijalaninya masih tak menentu dan mengambang bagai batu apung di lautan.


Sebenarnya olah raga takraw telah digeluti oleh pria kelahiran 15 Desember 1969 ini sejak tahun 1985 lalu. Saat itu, Sabaruddin tercatat sebagai anggota tim Melati Takraw Club (MTC), di kawasan Palingam-Kelurahan Pasar Gadang-Kecamatan Padang Selatan-Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat.

Di MTC inilah pria berkulit hitam ini mengasah kemampuan teknik takrawnya. Di clubnya Sabaruddin tak obahnya bagai sepotong besi yang ditepa dan diuji di perapian. Kepiawaian ”pandai besi" ternyata berhasil membentuk pria sederhana ini menjadi "besi" berharga. Tak pelak, Sabaruddin pun menjelma menjadi ”bintang” atlit takraw cemerlang di Sumbar.

Bersama perjalanan waktu, dalam kurun waktu yang singkat, pria yang akrab disapa Saban ini, ternyata tak lagi menjadi pria biasa, ia pun tumbuh menjadi pria luar biasa. Dalam kapasitas sebagai tekong di cub takrawnya, Saban ternyata mampu membuktikan diri bahwa ia adalah seorang kapten yang layak bagi clubnya. Paling tidak, sederet prestasi takraw tingkat Sumbar telah diraihnya.

Hanya berselang sekitar 3 tahun, pada tahun 1988 ia dipanggil untuk mengikuti seleksi tingkat nasional di Jakarta. Lewat seleksi yang ketat, Saban ternyata berhasil menyingkirkan lawan-lawannya dari berbagai provinsi. Ia pun dinyatakan berhak tergabung dalam Tim Takraw Nasional.

Kejuaran bergengsi perdana tingkat dunia, di mulai Saban pada Turnamen King's Cup-di Negara Thailand. Di Tim Takraw Nasional ini, Saban tetap memegang posisi sebagai tekong. Ternyata, Sabarudin memang merupakan bintang cemerlang, dalam pertandingan perdananya tingkat dunia itu, Saban bersama timnya mampu mempersembahkan mendali perunggu untuk Indonesia.

Pada tahun 1989, Sabaruddin kembali mengikuti seleksi untuk mewakili Indonesia menuju Sea Games-di Kuala Lumpur Malaysia. Dari seleksi yang diikuti oleh atlit takraw seluruh Indonesia itu, Sabaruddin kembali membuktikan bahwa ia memang benar-benar bintang cemerlang. Ia kembali mewakili Indonesia di Sea Games itu, dan berhasil meloloskan Tim Indonesia dalam posisi 4 besar.

Pada tahun 1990, ia kembali berhasil tergabung dalam Tim Takraw Nasional untuk mengikuti Pesta Sukan-di Brunai Darussalam. Kali ini, Indonesia berhasil meraih mendali perunggu. Berikutnya, negara mengamanahkannya untuk mengikuti Sea Games Manila tahun 1991. Masih dalam kapasitas sebagai tekong dalam timnya, Saban bersama timnya pun berhasil mempersembahkan mendali perunggu untuk Indonesia.

Tak hanya sampai disitu, pada Sea Games Singapura tahun 1993, Sabaruddin bersama Tim Takraw Nasional, berhasil mengibarkan bendera merah putih di Singapura, dengan mempersembahkan mendali perunggu.

Kini, bersama bergesernya waktu, sinar kejayaan Saban pun telah mulai memburam. Lantaran usianya semakin tua, ia tak lagi aktif dalam olah raga takraw ini. Namun, setelah tak lagi aktif dalam olah raga ini, sepertinya dalam diri Saban tak lagi ada tanda-tanda bahwa dahulu ia adalah pria luar biasa, yang berjasa bagi nusa dan bangsa. Kini, perjalanan nasib yang dilaluinya tak menentu!

Harapan Sabaruddin untuk menghidupi isteri yang dinikahinya pada tahun 1996 silam dengan kebesaran namannya sebagai atlit nasional, ternyata tak banyak membantunya dalam mengarungi kehidupan. Pemerintah Provinsi Sumbar seolah tidak pernah memberikan kesempatan padanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Padahal, ketika masa jayanya, Sabaruddin adalah satu-satunya atlit takraw Sumbar yang memiliki prestasi internasional. Namun, saat sinar kejayaanya telah memburam, ia pun seolah terperangkap pada "pondasi langit" yang miring. Kini, untuk bertahan hidup bersama anak dan isterinya, putra asli Palinggam ini terpaksa jadi tukang ojek dan buruh angkat.

Kata Saban, semenjak ia tak aktif lagi main takraw, ia memang pernah dijanjikan pekerjaan oleh Gubernur Sumbar yang saat itu dijabat Hasan Basri Durin. ”Namun, hingga akhir jabatannya, janji jadi pegawai negeri sipil yang pernah dilontarkan Hasan Basri Durin itu, tak pernah direalisasikan,” ungkap Sabaruddin.

Walau demikian, Sabaruddin tetap bersabar. Namun, agar tetap bisa hidup bersama keluarganya dalam kehidupan yang keras dan tak pernah kenal tawar menawar, Saban dipaksa keadaan untuk bisa bekerja keras. Akhirnya, pada tahun 1997. Sabaruddin mulai mengantungkan hidup dari keringat yang menetes di bawah terik matahari yang membakar tubuhnya, yaitu sebagai buruh angkat di sebuah gudang keramik di Palingam-Kelurahan Pasar Gadang-Kecamatan Padang Selatan.

Namun, lantaran di gudang keramik itu ia tidak bisa setiap hari mengais rezeki, karena aktifitas bongkar muat pun tidak berlangsung setiap hari, maka akhirnya Saban bekerja secara serabutan.

Waktu bergulir terus, perhatian pemerintah maupun pihak perusahaan swasta yang diharapkan, tak kunjung didapatkan Sabaruddin. Sementara ia harus tetap bisa menghidupi isterinya (Isdawarti) dan anak-anaknya (Kurnia Eka Saputra, Dedhek Rahmadoni, Liska Nosa Fitria). Akhirnya, Sabaruddin harus membanting tulang dan memutar otak agar perekonomian keluarganya tetap jalan.

Dalam mata pencarian yang tak menentu itu, kata Saban, ia diajak oleh orang kampungnya yang sudah meraih sukses di rantau orang. Pria dermawan yang bernama Dikki Syarfin itu, ungkap Saban, memboyongnya ke Jakarta untuk bekerja di salah satu perusahaannya.

Namun nasib malang kembali menyinggahi diri Saban. Baru sekitar satu minggu menikmati kehidupan yang layak di Jakarta, tiba-tiba Saban mendapat kabar duka dari isterinya. Anak kesayangannya Liska Nosa Fitria (8,5 bulan), dinyatakan meninggal dunia. Begitu luluh hati Sabaruddin saat itu! Dalam kondisi terguncang, pria bertubuh kekar ini pun berangkat menuju Kota Padang.

Setelah menerima cobaan itu, akhirnya Sabaruddin hidup menjadi pria yang lemah. Ia pun mulai kehilangan kendali diri. Setahun lebih ia terperangkap dalam kehidupan yang tak menentu. Ladang mimpinya seolah telah punah terbakar, dan ia terperangkap dalam hari-hari yang tiada lagi berseri.

Namun, rasa rasa tanggungjawab terhadap isteri dan anak-anaknya, mendorong Saban untuk tetap bersemangat menjalani hidup ini. Perlahan, Sabaruddin mulai bangkit kembali. Pasca musibah yang menimpa putri kesayangnya itu, Sabaruddin tak berhasrat lagi untuk kembali ke Jakarta. Ia pun kembali menjadi buruh angkat di gudang keramik di kawasan Palinggam.

Karena dari profesi itu Saban tidak setiap hari mendapatkan uang, maka ia mencoba untuk menjadi tukang ojek dengan motor milik temannya. Merasa dari profesi tukang ojek ini bisa mendapatkan uang tiap hari, maka bermodalkan uang pinjaman, Sabaruddin berupaya mengambil motor kredit.

Kini, atlit takraw nasional yang pernah jaya di tahun 80-an ini, mengantungkan hidupnya di bawah terik matahari yang membakar sekujur tubuhnya, sebagai tukang ojek di Pasarraya Padang (depan Mesjid Taqwa Muhammadiyah).

Sabaruddin adalah salah satu contoh atlit yang bernasib buruk di hari tuanya. Pendakian hidup yang dilaluinya terlalu tajam dan tinggi. Ia tak obahnya bagai seorang musafir yang berharap setetes air. Namun, yang ia temukan hanyalah seember air limbah tak berguna. F. Fahlevi

Ketika Cinta Tercecer di Pinggir Jalan

No Comments


Bajunya kumal dan rambut tak terurus. Terkadang mereka tertawa lepas, menangis dan berbicara sendiri. Orang seperti ini, cukup banyak berkeliaran di jalan-jalan utama Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat. Mereka butuh perhatian dan pembinaan. Siapa yang bertanggungjawab memberikannya?


Tatapannya kosong, pakaian yang melekat di tubuhnya belumlah seberapa kumal. Namun, kulit muka dan rambutnya terlihat sudah sangat tak terurus. Aroma yang keluar dari tubuhnya pun tercium tidak sedap. Maklum, ia tak tahu lagi jadwal kapan harus mandi dan berdandan.

Wanita tua yang diperkirakan berusia sekitar 58 tahun itu, sering terlihat di jalan-jalan utama Kota Padang. Di bawah terik matahari siang, dengan bertelanjang kaki, ia terlihat menyisiri beberapa ruas jalan, seperti ; Jalan Sawahan, Khatib Sulaiman, Lolong, Pasar Raya Padang, bahkan ia juga terlihat di sepanjang Jalan By Pass.

Ketika disodorkan makanan, tanpa berbasa-basi ia langsung menyambarnya. Begitu mulai makan, celoteh tak karuan pun segera meluncur dari multnya. "Laki urang lakinyo juo, harato tandeh nyo ma ilang. Cubooo lah, kok ndak den cancang-cancang beko (suami orang suaminya juga, harta habis dia menghilang. Cobalah, kalau tidak bakalan saya cencang-cencang nanti)," ujarnya tanpa tahu apa maksud dari kata-kata yang tak menyambung antara satu dengan yang lainnya itu.

Ketika ditanya namanya, spontan saja ia menjawab; Nurbaya. Pada saat yang sama, namun di menit yang berbeda, ia juga mengaku bernama Ratna. Tiba-tiba namanya berganti lagi dengan Mayarni. Begitu juga dengan tempat tinggalnya, adakalanya ia mengaku tinggal di Koto Tingga, namun terkadang ia juga mengaku tinggal di Koto Marapak dan Anduriang.

Berbeda dengan wanita malang yang punya nama segudang (Nurbaya, Ratna, Mayarni dan beberapa nama lainnya), seorang pria yang di temui di kawasan Jalan Sawahan Padang ini, terlihat begitu kumal. Pakaian compang-camping yang dikenakannya berlapis-lapis. Rambut, kumis dan jengotnya pun tak terurus.

Dengan beralaskan kantong kresekan berwarna putih yang ditentengnya, pria ia bertubuh agak kekar ini merebahkan tubuhnya di trotoar jalan, tanpa peduli saat itu matahari tengah terik menyengat.

Begitu ia terbangun, ia tak sungkan menerima sebatang rokok yang disuguhkan padanya. Tanpa harus didahului dengan secangkir kopi, pria berkluit kotor ini langsung menyulut rokok 234 yang diberikan padanya.

Sambil mengepulkan asap rokok ke udara, pria yang mengakui dirinya sebagai ketua ini terlihat tersenyum-senyum. Tiba-tiba dari mulutnya keluar kata-kata; "dunsanak tu pitih. Pitih tu dunsanak (saudara itu uang. Uang itu saudara)," ujarnya sambil tertawa dan mengangguk-anggukkan kepalannya.

Melihat dari logat bahasanya, lelaki ini berasal dari daerah Sumbar bagian selatan. Ketika ditanya dari mana ia berasal, ia malah tertawa terbahak-bahak. Lalu dengan enteng ia berkata ; “waang gilo”. Lalu ia tertawa lagi terkekeh-kekeh.

Sejurus kemudian, ia berkata lagi ; “bantuak ang ko loh nan ka jadi walikota ko. Sia nan ka jadi walikota tu lah jaleh. Karajonyo samo jo den (orang seperti kamu ini pula yang akan jadi walikota nih. Siapa yang akan jadi walikota itu sudah jelas. Kerjanya sama dengan saya),” ujarnya sambil tertawa terbahak-bahak.

Berbeda dengan pria bertubuh kekar tersebut, lelaki gaek yang sering dijumpai di kawasan Air Tawar Padang ini terlihat lebih sedikit tenang. Pembawaannya pun sedikit berwibawa. Ia tak banyak berbicara.

Ketika berbicara dengan lelaki tua yang diperkirakan berusia sekitar 65 tahun ini, sedikit banyaknya masih menyambung. Namun, terkadang ada juga celotehnya yang tak ada kaitannya dengan pertanyaan. Ketika ditanya siapa nama dan di mana ia tinggal, lelaki ini malah menjawab; ‘tanah tu pangkanyo punyo si Pirin. Tapi dek paja gilo tu banyak pitih, kini tanah tu lah bapindah tangan (tanah itu awalnya punya si Pirin. Tapi karena orang gila itu banyak uang, kini tanah itu sudah berpindah tangan),” ujarnya dengan mimik serius.

Jumlah orang berpenyakit gangguan jiwa (orang gila) yang berkeliaran di Kota Padang ini cukup banyak. Diperkirakan, jumlahnya tak kurang dari 30 orang. Dari jumlah tersebut, Publik mengidentifikasi, beberapa orang diantaranya bukanlah warga Kota Padang. Ada yang meyakini, mereka merupakan “orang gila impor” dari sejumlah daerah di Sumbar.

Apapun realitanya, yang pasti keberadaan orang gila yang berkeliran di jalanan ini, kata pengamat sosial Doni Saputra MA, akan merusak ketertiban, ketentraman dan keindahan kota. “Pembinaan terhadap orang gila ini akan lebih banyak manfaatnya ketimbang membiarkan mereka berkeliaran di jalanan,” papar Doni Saputra.

Namun, ketika ditanya tentang program pembinaan terhadap orang gila di jalanan itu, Kepala Dinas Sosial dan Penanggulangan Bencana Kota Padang-Harri Fidrian SH, malah angkat tangan.

Katanya, mereka memiliki keterbatasan moril untuk melakukan itu. Sebab, orang gila yang berkeliaranan di jalanan tersebut, tak jelas latar belakang keluarganya. “Kalau untuk pembinaan orang gila yang punya status jelas, namun memiliki keterbatasan biaya berobat, kita telah membantu mengirimkannya ke RS Jiwa HB Sa’anin Ulu Gadut. Yang dikirim itu, khusus orang gila yang dipasung. Dalam tahun 2008 berjalan, sedikitnya ada 4 orang gila yang dikirim ke RS Ulu Gadut,” papar Harri Fidrian.

Kata Harri, dalam melakukan pembinaan terhadap orang gila itu, mereka tergabung dalam sebuah Tim, yang terdiri dari; Dinas Kesehatan Kota Padang, Dinas Sosial, Pol PP dan Bagian Sosial.

Hal yang sama juga diakui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang-dr Hj Efrida Aziz Msc. Katanya, dinas yang dipimpinnya itu memiliki keterbatasan wewenang melakukan pembinaan terhadap orang gila di jalanan tersebut. Namun, bila pihak keluarganya butuh perawatan, maka dinas yang dipimpinnya itu, bertanggungjawab untuk mengantarkan ke RS Jiwa. “Kita hanya bisa menanggug pelayanan kesehatan dasar,” papar Efrida.

Yang menjadi kendala selama ini, kata Efrida, kebanyakan orang gila di jalanan itu, tak begitu jelas status keluarganya. “Setelah mereka sembuh nanti, ke mana mereka akan dikembalikan. Kebanyakan dari mereka, menjadi pasien infentaris di RS Jiwa HB Sa’anin Ulu Gadut. Disisi lain, RS Jiwa itu memiliki keterbatasan tempat,” papar Efrida Aziz.

Apapun yang menjadi alasannya, yang pasti para orang gila jalanan itu butuh sentuhan cinta dan perhatian. Kesungguhan dan ketulusan hati untuk mengatasinya, diyakini menjadi kata kunci dalam penanggulangannya. F. Fahlevi

Penyu itu Mulai Punah

No Comments

Kegiatan penangkapan penyu maupun pengambilan telornya, sulit untuk dikontrol. Sebab, pada umumnya daerah penangkapannya berada di kawasan perairan terpencil (pulau). Kurangnya sarana dan lemahnya pengawasan, membuat populasi penyu menuju kepunahan.

Berkeliling di laut Sumbar, selain mengasyikan juga bisa menambah khasanah ilmu pengetahuan. Febi Fernando (20 tahun) seorang mahasiswa Jurusan Teknik Mesin di Akademi Teknologi Padang, merasakan hal itu.

Selama berkeliling itu, ia menemukan beberapa lokasi pendaratan penyu. Lokasi itu terdapat di Kabupaten Pasaman, Pesisir Selatan, Padang Pariaman dan Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Bahkan, ia juga menemukan kegiatan penangkapan penyu dan pengambilan telur penyu yang dilakukan oleh masyarakat.

Awalnya Febi tidak begitu mengetahui secara persis kenapa penyu itu ditangkap. Yang diketahui oleh mahasiswa yang tinggal di Simpang Tinju Lapai Padang ini hanyalah sebatas telur penyu, dimana telur itu bisa jadi santapan manusia dan mengandung nilai gizi yang tinggi.

Namun, karena pernah menyaksikan ada kegiatan penangkapan penyu yang dilakukan masyarakat, muncul berbagai pertanyaan dibenaknya. Akhirnya, ia mencari tahu tentang penyu tersebut.

Begitu terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa tingginya harga jual penyu, mendorong berbagai pihak untuk menangkap dan memperdagangkan penyu. Bahkan ia juga mendapat informasi, banyak tujuan yang ada dari kegiatan penangkapan penyu tersebut. Diantaranya, dagingnya dimanfaatkan untuk santapan lezat, kerapasnya diambil untuk dijadikan suvenir serta berbagai keperluan lainnya.

Selain informasi tentang kegiatan penangkapan penyu itu, Febi Fernando juga mendapat informasi tentang banyaknya kegiatan pengumpulan penyu yang dilakukan secara tidak syah dan tidak berpedoman pada kaidah pelestarian, yang dapat mengakibatkan terancamnya populasi penyu di alam.

Mahasiswa asal Provinsi Riau ini juga mendapatkan informasi, populasi penyu sering terusik oleh aktivitas perikanan. Dikabarkan, banyak penyu yang mati dan terluka dalam jaring nelayan.

Realita yang dijumpai Febi Fernando itu, diakui oleh Kasubdin Pengendalian Sumber Daya Dinas Kelautan Perikanan Sumbar-Ir Albert Krisdiarto didampingi Kasi Konservasi Resisuriati Spi Msi. Kata mereka, memang sumberdaya genetik yang akhir-akhir ini cenderung dieksploitasi secara berlebihan, adalah penyu laut.

Dampak dari kegiatan eksploitasi itu, kata Albert, membuat populasi penyu yang ada di alam semakin berkurang.

“Penurunan populasi penyu itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain; pengambilan penyu dewasa untuk diperdagangkan. Selain itu, pengambilan telur penyu untuk makan makin meningkat, sehingga untuk ditetaskan nyaris tak tersisa. Disamping itu, aturan pemerintah terhadap paraktek pengelolaan penyu belum jelas, serta pengontrolan sulit dilakukan lantaran daerah penangkapannya terletak di kawasan perairan terpencil dan sulit dijangkau,” papar Albert.

Dikatakan, bila kegiatan penangkapan penyu yang tanpa mengindahkan kelestarian terus saja berlangsung, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kelangkaan jenis, pada akhirnya akan menuju kepunahan.

Ketika disinggung apa upaya Dinas Kelautan Peikanan Sumbar dalam mengatasi persoalan tersebut, Albert didamping Resi memberikan penjelasannya. Katannya, untuk mengatasi persoalan itu, diperlukan upaya pengelolaan dan pengembangan sumber daya penyu melalui upaya konservasi di alam. Dengan demikian, akan tercapai keseimbangan antara tingkat pemanfaatan dengan pertambahan tumbuhnya populasi, dengan melakukan upaya pelestarian penyu agar pemanfaatan sumberdaya penyu dapat berlangsung secara terus menerus.

Lebih jauh diungkapkan Albert, di Sumbar terdapat sebanyak 32 lokasi pendaratan penyu yang tersebar di Kabupaten Pasaman, Pesisir Selatan, Padang Pariaman dan Kota Padang.

Dari sekian banyak lokasi pendaratan penyu itu, Kata Albert, yang terbesar terdapat di Pesisir Selatan, yaitu Pulau Penyu, Pulau Beringin, Pulau Karabak Besar, Pulau Karabak Kecil, Pulau Katang-Katang serta Pulau Gosong.

“Di pulau tersebut terdapat 3 jenis penyu yang selalu singgah dan naik di sepanjang pantai Sumbar. Ketiga jenis penyu itu adalah Penyu Belimbing (dermochelys coriacea), Penyu Sisik (eretmochelys imbricate) dan Penyu Hijau (chelonia mydas),” ujarnya.

Albert juga mengatakan, upaya pengelolaan dan pengembangan sumber daya penyu melalui upaya konservasi, sudah dimulai oleh Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Sumbar sejak tahun 2004 lalu.

Katanya, saat itu DKP Sumbar telah mulai melaksanakan perlindungan dan pengelolaan populasi penyu dengan kegiatan penangkaran, mulai dari penetasan dan pembesaran anak penyu (tukik). Selanjutnya, tukik itu dilepas kembali ke laut.

“Kegiatan itu masih berlanjut di tahun 2005, kegiatannya dipusatkan di Kabupaten Pesisir Selatan. Saat itu telah dilepas tukik sebanyak 1.100 ekor ke laut. Sedangkan untuk tahun 2006, juga dilakukan kegiatan yang sama. Direncanakan, Pulau Kerabak Ketek akan dijadikan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), melalui dukungan dana dari APBD,” papar Albert.

Dikatakan Albert, alasan dipilihnya Pulau Kerabak Ketek sebagai kawasan konservasi, lantaran tingginya tingkat eksploitasi telur penyu yang berasal dari daerah itu. Disamping itu, di sekitarnya terdapat 5 buah pulau-pulau kecil yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lokasi pelestarian penyu, karena wilayah itu merupakan lokasi pendaratan penyu laut.

Selain itu, katannya, selama ini Pulau Kerabak Ketek dianggap sebagai pusat pendaratan dari beberapa pulau yang ada di sekitarnya (Pulau Kerabak Gadang, Pulau Gosong). Rata-rata naik 3 – 4 ekor penyu setiap malam hari.

Untuk itu, kata Alber lebih lanjut, upaya konservasi dan penyelamatan penyu di Kabupaten Pesisir Selatan dilakukan sedini mungkin. Dengan melakukan kegiatan penangkaran penyu laut sebanyak mungkin dan melepasnya untuk masuk ke laut, diharapkan penyu itu akan terhindar dari kepunahan.

Juga dikatakan, untuk mempertahankan jumlah populasi, dalam tahun ini Dinas Kelautan Perikanan Sumbar merencanakan menyediakan tukik penyu sebanyak 1.000 ekor, yang siap dilepas ke alam bebas (re-stoking). Sementara itu, sebanyak 5 persen akan dipelihara sebagai sarana pendidikan dan pengetahuan bagi masyarakat setempat dan luar. Febriansyah Fahlevi

Lebaran Menjelang, Edan pun Datang

No Comments
Tradisi membagi-bagikan uang (salam tempel) pada Hari Raya Idul Fitri (lebaran), ternyata membuat sebahagian orang bertingkah edan. Untuk memenuhi tradisi itu, mereka rela membeli uang recehan atau lembaran seribu rupiah dengan harga selangit. Realita itu, ternyata masih terjadi menjelang Idul Fitri 1429 H ini.

Serentetan kesadaran hilahiyah mewarnai gebyar Ramadhan yang bermuara pada Idul Fitri 1429 H.. Kiprah keagamaan dan membludaknya hampir seluruh mesjid, juga mewarnai Ramadhan tahun ini. Suasana tersebut seolah memberikan pertanda, betapa umat Islam mengerti betul bahwa Ramadhan sebagai bulan istimewa, penuh rahmat dan ampunan.

Tak hanya di mesjid-mesjid dan mushala-mushala kealiman tercermin! Di jalan-jalan, perkantoran sampai ke pasar-pasar, kealiman itu juga terpancar. Dimana-mana kaum muslim kelihatan berwajah lebih pucat, berprilaku islami dan tak neko-neko, apalagi bertingkah aneh-aneh.

Sepertinya, mereka sangat menghormati bulan Ramadhan itu, meski belum tahu secara pasti bahwa seluruh mereka menjalankan ibadah puasa seperti yang diwajibkan dalam agama Islam. Yang jelas, berdasarkan pantauan penulis, selama Ramadhan tahun 2008 ini, segala tingkah laku buruk tak banyak diperlihatkan umat yang menjalankan ibadah puasa.

Kalaupun disebahagian tempat masih tersisa “kotoran” yang ditutup-tutupi, namun menurut pengamatan penulis di beberapa wilayah Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat, jumlahnya tak seberapa.dan tak begitu mencolok.

Memang ada sebahagian rumah makan dan warung nasi yang nekad buka siang hari, namun warung itu terlihat ditutupi dengan rapi dan beroperasi secara sembunyi-sembunyi. Kendati demikian, tempat ini tak luput dari “aksi bersih-bersih” Polisi Pamong Praja.

Walau pada Ramadhan tahun ini nyaris terbilang “sukses”, namun beberapa hari menjelang Ramadhan itu berakhir (mendekati Idul Fitri/Lebaran), penulis malah menemukan prilaku “menyimpang” dari sebahagian umat Islam Kota Padang.

Demi memenuhi tradisi membagikan uang pada anak-anak (salam tempel) di saat Hari Raya Idul Fitri 1429 H, sebahagian dari mereka rela bersusah-susah untuk memperoleh uang recehan dan uang lembaran ribuan dengan cara tak logis. Mereka justeru membeli uang itu dengan harga yang lumayan selangit.

Mungkin karena tradisi salam tempel itu sudah membuming, segelintir orang sengaja memanfaatkannya untuk meraup keuntungan! Lantaran meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap uang recehan (terutama uang lembaran seribu rupiah), segelintir orang malah “menebar jasa” di beberapa ruas jalan Kota Padang, terutama di sepanjang kawasan jembatan Siti Nurbaya di Jalan Batang Arau Padang.

Berdasarkan pantauan penulis, walau hari Raya Idul Fitri masih jauh, saat ini ‘para penjaja uang’ sudah mulai menjual uang lembaran ribuan itu kepada masyarakat yang mengingkannya dengan harganya bervariasi. Untuk penukaran uang sejumlah Rp.100.000 dengan uang lembaran Rp.1.000, mereka meletakan tarif mulai dari Rp.110.000 hingga Rp.115.000.

Namun ada juga yang tak mematok harga setinggi itu, Afniwarti (40 tahun) misalnya! Bagi wanita kelahiran Desember 1968 ini, untung sedikit pun sudah cukup. Sebab, ia hanya “menjual” uang itu pada beberapa kerabat dan tetangganya.

Lagi pula, wanita yang tengah hamil 6 bulan ini mengaku, dirinya juga merasa was-was dengan bisnis yang ia lakoni itu. Hatinya malah bertanya-tanya, jangan-jangan bisnis yang ia jalankan terbilang haram. Benar nggak ya?

Febriansyah Fahlevi

Malin Kundang Begitu Kondang

No Comments

Kisah legenda anak durhaka-Malin kundang, yang dikutuk ibunya menjadi butu, begitu populer dan tersohor sampai ke mancanegara. Sisa-sisa cerita legenda itu, kini masih membekas di Pantai Air Manis-Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat.


Bila hanya mendengar cerita tentang keindahan alam dari mulut ke mulut, tentu tak bakalan seru! Sesekali, luangkanlah waktu Anda untuk melihat-lihat keindahan alam di beberapa objek wisata yang ada di Kota Padang.

Selama ini, Kota Padang dikenal banyak memiliki objek wisata yang begitu indah dan mempesona. Misalnya, objek wisata Air Terjun Sikayan Balumuik, di punggung Bukit Barisan-sekitar 17 kilo meter ke arah timur Kota Padang.

Tak hanya itu, di Kota Padang juga ada objek wisata Taman Hutan Raya Bung Hatta, yang terletak 18 kilo meter dari pusat kota. Juga ada Pantai Air Manis, Pantai Carolina, Taman Nirwana, Pantai Pasir Jambak, Pantai Padang dan beberapa objek wisata lainnya.

Dari beberapa objek wisata yang ada itu, disamping bisa menentramkan jiwa yang gundah—keindahan dan pesona yang terpancar dari objek wisatanya, juga diyakini mampu memberikan inspirasi bagi para wisatawan.

Dari beberapa objek wisata itu, yang paling tersohor adalah objek wisata Pantai Air Manis dengan spesifik Batu Malin Kundangnya, serta Pulau Pisang Ketek dan Pulau Pisang Gadang yang hanya berjarak beberapa meter dari bibir Pantai Air Manis.

Sebegitu mengagumkan pesona alam yang terpancar dari objek wisata yang merupakan perpaduan antara pantai dan cerita legenda Malin Kundang ini, rasanya tak ada pengunjung yang mampu menahan hasratnya untuk menikmati keutuhan pesona alamnya. Tak hanya itu, keinginan untuk membenamkan diri berlama-lama di air pantainya, pun segera akan membuncah dari para wisatawan.

Dipantai Air Manis ini, pengunjung juga bisa menyalurkan hasratnya berselancar di atas gulungan ombak (surfing). Selain itu, bagi pengunjung yang memiliki bakat bertualang, sebelumnya dapat menyusuri jalan setapak menuju Pantai Air Manis, yang dimulai dari Gunung Padang di kawasan Muaro.

Bagi yang ingin berwisata sambil mendapatkan cerita kisah legenda anak durhaka-Malin Kundang, dapat menuntaskan hasrat itu di Pantai Air Manis ini. Kisah Malin Kundang itu, dapat disimak dari ukiran relif sepanjang 5 meter yang terdapat di Pantai Air Manis tersebut.

Selain itu, kisah Malin Kundang, juga dapat Anda simak dari mulut penduduk setempat, yang berprofesi sebagai guide. Menurut cerita legenda itu, di Pantai Air Manis tersebut hiduplah seorang perempuan miskin di sebuah kampung nelayan.

Perempuan miskin setengah baya tersebut mempunyai seorang anak lelaki tunggal bernama Malin Kundang. Sedari kecil, Malin Kundang telah ditinggal mati oleh bapaknya. Malin Kundang si anak yatim itu, sehari-hari dirawat dan dibesarkan sang ibu, yang berprofesi mencari kayu api atau menangkap ikan di tepi pantai.

Dengan penuh kasih sayang Malin Kundang dibesarkan ibunya hingga beranjak dewasa! Pada suatu hari, Malin Kundang mengutarakan niat untuk merantau ke negeri seberang kepada ibunya. Kepergiannya itu, dengan maksud hendak merubah nasib hidup dan masa depanya.

Sang ibu tak kuasa menahannya dan melepas anak yang dicintai dengan cucuran air mata. Tinggallah ibunya seorang diri dan berdo’a semoga Malin Kundang berhasil di rantau orang.

Bulan berganti, tahun pun berlalu, terdengarlah berita dari nahkoda yang sering berlabuh di Pantai Air Manis, yang menyatakan Malin Kundang telah menjadi kaya dan mempunyai istri amat cantik di rantau sana.

Alangkah bahaginya ibu Malin Kundang mendengar kabar baik tersebut. Tiap malam sang ibu berdo’a semoga Malin Kundang segera kembali, karena sudah teramat merindukan anaknya tersebut.

Pada suatu hari merapatlah sebuah kapal besar membawa Malin Kundang di Pantai Air manis. Hati sang ibu sungguh bahagia, karena do’anya di kabulkan Tuhan untuk dapat kembali bertemu anaknya yang telah berpuluh tahun hidup di rantau orang.

Malin Kundang tampak gagah turun dari kapal bersama istri cantiknya. Namun sayang, rasa pongah mulai bertahtata dalam dirinya. Sebegitu angkuhnya ia, Malin Kundang malah tidak mengakui wanita yang datang dengan baju yang compang-camping itu sebagai ibunya.

Upatan dan cacian pun tak segan-segan dilontarkan Malin Kundang pada ibunya. Hati sang ibu tersayat bak sembilu, ia tak menyangka anak yang disayangi dan dirindukan sepanjang hari, melukai hatinya dan durhaka kepadanya.

Tanpa menghiraukan ibunya yang merintih pedih dan bersimpuh di bibir pantai, Malin Kundang lantas berlalu meninggalkan ibunya itu sembari melangkah menuju kapalnya.

Kapal Malin Kundang pun mulai bergerak meninggalkan sandaran. Sambil meneteskan air mata, sang ibu menatap kapal megah itu dan memanjatkan do’a ; Ya Tuhan, kalau memang Malin Kundang memang anak ku, tunjukanlah kebesaran-Mu kepada ku” ungkap sang ibu penuh isak.

Tak lama kemudian datanglah badai disertai petir dan gelombang laut yang dahsyat. Tak pelak kapal Malin Kundang dihantam gelombang laut yang datang tiba-tiba. Dalam situasi itu, ia masih sempat memanggil nama ibunya. Namun, kebesaran Tuhan telah datang, Malin Kundang si anak durhaka tenggelam bersama kapalnya dan terdampar di tepi Pantai Air manis. Konon karena kutukan ibunya, Malin Kundang bersama istrinya berubah menjadi batu.

Kisah haru dari legenda Malin Kundang itu pun tersohor ke mana-mana, Pantai Air Manis akhirnya menjadi objek wisata yang banyak diminati orang.

Untuk kepuasan pengunjung, kata Kabid Pengembangan Dinas Pariwisata Budaya Kota Padang-Sri Yanti Yazid SE MM. di objek wisata yang hanya berjarak 10 kilo meter dari Kota Padang ini, telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang, diantaranya ; WC umum, mushala, kios-kios suvenir, medan nan bapaneh dan lainnya.

Bahkan, kata Sri Yanti, karena kawasan Pantai Air Manis ini merupakan objek wisata unggulan dalam menyambut Visit Indonesia Years 2008, dalam tahun ini Pemko Padang akan membangun perkampungan wisata di kawasan Pantai Air Manis tersebut, pada lahan seluas 5 hektar.