Suatu hari di hamparan langit bulan Juli tahun 1987, seorang dara bernama Daniar (19 tahun), begitu bahagia bisa dipersunting oleh pria pujaan hatinya-Aliumar (21 tahun). Sepasang anak manusia kelahiran Kabupaten Padangpariman-Provinsi Sumatera Barat yang bertemu jodoh di Kota Medan-Provinsi Sumatera Utara ini, pun merangkai hari-hari layaknya pasangan suami isteri.
Kebahagian Aliumar sebagai lelaki menjadi lengkap, tatkala isterinya pada bulan Maret 1988 melahirkan putri mereka di Klinik Bunda Medan. Namun, kebahagian suami-istri yang membuka warung nasi di Kota Medan ini tak bertahan lama. Sebab, anak yang terlahir dengan berat 1,3 kg itu, saat lahir tidak bereaksi dan tidak bergerak layaknya bayi normal.
Bak mumbang alit ditangkai mayang basah kuyup direnyai hari, begitu remuk persaan pasangan suami-isteri ini. Namun, mereka tetap menjalani cobaan itu dengan tulus hati.
Bayi wanita mungil itu pun mereka pelihara, dan diberinama Yendi. Dengan segenap cinta yang bersumber dari “mata air” yang paling tawar, Daniar tak pernah lelah berupaya mencari kesembuhan untuk sang buah hati. Ia pun berobat ke sana kemari. Namun kesembuhan yang diharapkan tak kunjung didapat.
Lantaran harta benda mereka habis terkuras untuk mengobati Yendi, mereka menjadi kesulitan untuk bertahan hidup di Kota Medan. Sekitar tahun 2003, pasangan suami-isteri yang telah memiliki 5 orang anak ini berniat untuk pulang kampung ke Pariaman. Namun, belum sempat mewujudkan keinginan itu, akhirnya Aliumar meninggal dunia dalam usia 40 tahun. Begitu lengkap penderitaan yang dialami Daniar!
Tak mau bak menjadi elang yang tersesat di rimba raya, akhirnya Daniar memboyong anak-anaknya ke Pariaman. Di kampung halamannya ini, ia mencoba bertani.
Namun lantaran anak tertuanya itu butuh perhatian ekstra dari waktu-ke waktu, Daniar tak bisa berkonsentrasi dalam menjalani profesi sebagai petani. Hari-harinya harus dihabisi dengan mendampingi dan melayani putri tertuanya itu, sebab ia tak bisa apa-apa.
Dalam kondisi tanpa pekerjaan, cobaan kembali datang mendera. Yendi terserang penyakit, sehingga ia tidak makan dan minum berhari-hari. Derita Daniar dan anaknya Yendi, nyaris berakhir pada hari Minggu 25 Januari 2004, sekitar jam 17.30 WIB Yendi dinyatakan meninggal dunia.
Namun setelah mayat itu dimandikan dan dikafani pada hari Senin pagi (26 Januari 2004), tiba-tiba Allah Aza Wajala menunjukkan kuasa-Nya, mata Yendi kembali terbuka dan nadinya kembali berdenyut.
Semenjak peristiwa itu, Daniar tak mau meninggalkan Yendi walaupun sekejap saja. Hari berbilang tahun pun berganti, ketentuan takdir ternyata menempatkan Daniar memiliki anak cacat. Kini usia anak wanitanya itu memasuki 21 tahun. Namun buah hatinya itu tak jua kunjung bisa apa-apa, hanya bisa telentang mengarah langit.
Sementara itu kehidupan nyata mengharuskan Daniar untuk bertahan hidup, disisi lain ia tak punya pekerjaan sama-sekali. Hanya bergantung dari belas kasihan keluarga.
Tak mau melakoni hidup bagai benalu, pertengahan tahun 2006 Daniar memutuskan untuk mengadu untung di Kota Padang-Provinsi Sumatera Barat. Disini ia menjalani hidup sebagai pedagang keripik balado. Sambil mengendong Yendi (layaknya mengendong bayi dengan kain) ia menjajakan dagangannya di Kantor Balai Kota Padang.
Namun karena untuk menjalani profesi itu ia harus membeli bahan-bahan dan memasaknya, perhatian Daniar terhadap Yendi menjadi terbagi. Yendi pun sering ditinggal sendirian saat ia berbelanja bahan-bahan keripik balodo-nya ke pasarraya. Hatinya sering teriiris begitu pulang dari berbelanja bahan dagangan. Sebab, ia menemui anaknya sudah bergelimang dengan air kencing dan buang air besarnya. Bahkan, (maaf) bergelimang dengan darah haid-nya.
Dalam keadaan demikian, akhirnya Daniar memutuskan mencari profesi yang sekaligus bisa membawa anaknya. Akhirnya, sekitar 8 bulan lalu, ia memutuskan untuk mengemis di kawasan Mesjid Muhammadiyah dan di depan Kantor Balaikota Padang.
Duh…., kasihan Daniar. Ia bagaikan pohon yang kehilangan satu dahannya yang kuat. Pohonya menderita, namun tidak mati. Kini ia tengah mengarahkan seluruh dayanya untuk tetap beretahan dengan dahan-dahan yang lemah. Meski begitu, ia tetap berharap akan tumbuh dahan-dahan yang baru, untuk mengisi dan menambah kekuatan pada pohonya. F. Fahlevi