POTRET PENDIDIKAN TINGGI HARI INI

No Comments

Belakangan saya semakin risau memikirkan bagaimana kelak nasib pendidikan anak-anak saya. Dengan penghasilan kurang dari cukup, hampir dipastikan kelak anak-nak saya tak bakalan akan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Fakta hari ini mengambarkan bahwa pendidikan tinggi masih merupakan barang mahal di negeri “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja” ini. Terutama semenjak pemerintah memberikan kemandirian bagi perguruan tinggi negeri (PTN), dengan “label” Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara.(PT BHMN) pada beberapa perguruan tinggi di Indonesia, seperti ; seperti ; Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) Universitas Gajah mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lainnya.
Lagi lagi fakta hari ini, meskipun tak terkatakan—namun secara tersirat tergambarkan—dengan pemberian status BHMN kepada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN), pemerintah seolah ingin menyatakan bahwa PTN tersebut memiliki kebebasan untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing, termasuk mematok biaya perkuliahan dan bebas pula menerima masiswa sesuai yang diinginkan.

Status BHMN ini malah seolah menjadi ‘darah baru’ bagi PTN dalam mematok biaya masuk dan biaya perkulihan cukup besar. PTN ini pun cukup punya alasan kuat untuk mematok biya besar, yaitu untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal.

Sebagai ilustrasi, di Universitas Indonesia menerapkan uang pangkal bagi mahasiswa yang lolos Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) antara Rp5 hingga Rp25 juta. Sedangkan untuk mahasiswa yang masuk lewat Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) dikenakan uang pangkal antara Rp25 hingga Rp75 juta.

Institut Teknologi Bandung (ITB) malah menerapkan sistim bebeda. Bila calon mahasiswa dinyatakan lulus Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri 2010 dan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa ITB, maka biaya pendidikan yang diperlukan oleh mahasiswa selama menempuh pendidikan di ITB, dibagi dalam beberapa katagori, seperti : biaya pendidikan di muka (BPM)

Dalam hal ini ITB menawarkan komitmen BPM secara sukarela kepada para peserta Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri yang berminat untuk memilih salah satu program studi di ITB, dalam bentuk Formulir Kesediaan Pembayaran BPM ITB.

Menurut pihak ITB, nilai BPM yang dijanjikan peserta Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri tidak mempengaruhi peluang kelulusan peserta Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri 2010 di ITB. Kelulusan peserta di Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri itu hanya ditentukan oleh hasil ujian tertulis.

Di ITB ini ada pilihan nilai BPM yang dapat diisi oleh peserta Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri yang berminat memilih perguruan tinggi bergengsi ini, yaitu : lebih besar dari Rp55 juta, hanya Rp55 juta, antara Rp25 juta, sampai Rp55 juta, hanya Rp25 juta, Rp15 juta, Rp10 juta, Rp5 juta. Bahkan ITB juga menyediakan blangko BPM bila calon masiswa tidak bersedia membayar uang biaya pendidikan di muka itu.

Seandainya pembayaran BPM tidak dilaksanakan sesuai dengan data yang diisikan oleh peserta di dalam Formulir Kesediaan BPM ITB, maka kelulusan peserta yang bersangkutan di ITB akan dibatalkan.

Sementara itu, di Universitas Andalas (Unand) Padang untuk bisa kuliah di Kedokteran Gigi, calon mahasiswa harus membayar Rp27.970.000. Biaya tersebut terdiri dari biaya pengembangan institusi (sejenis uang pembangunan) sebesar Rp25,55 juta, Rp2.240.000 untuk resgistrasi, sisanya untuk SPP, uang praktikum, uang bakti, dana ESQ, dan untuk keperluan lainnya.

Sedangkan untuk Program Studi Pendidikan Dokter, Unand Padang mematok biaya Rp12.420.000, Psikologi Rp14.070.000, Sistem Informasi Rp11.070.000, Sistem Komputer Rp9.070.000, Keperawatan Rp7.420.000, Kesehatan Masyarakat Rp7.420.000, Teknik Rp7.570.000, Teknologi Pertanian Rp6.570.000, MIPA Rp6.070.000. Ekonomi Rp5.770.000, Peternakan Rp5.570.000, Farmasi Rp5.570.000, Pertanian Rp5.320.000, Hukum Rp5.270.000, Sastra Rp4.770.000 dan ISIP Rp4.720.000.

Inilah potret pendidikan tinggi kita hari ini. Kendati fakta itu sempat membuat saya gamang akan nasib pendidikkan anak-anak saya, namun saya tak akan pernah berhenti berdo’a, agar Indonesia yang dikatakan sebagai negeri “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja” itu, benar-benar terwujud sesuai harapan. Sehingga pendidikan anak-anak rakyat Indonesia, tak hanya menjadi “beban” bagi orang tuanya saja, namun juga menjadi tanggungjawab negara.
Febriansyah Fahlevi